Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Petani Simalingkar, Antara Derita dan Perjuangan

2 Juni 2020   16:29 Diperbarui: 2 Juni 2020   16:25 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekedar contoh pada sektor perkebunan, dari 144 ledakan konflik agraria 83 atau 60% kasus sepanjang tahun 2018, diantaranya terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah serius menyelesaikan konflik antara korporasi dengan petani. (Catatan Akhir Tahun KPA, 2018)

Konflik Deli Serdang

Akhir-akhir ini konflik tanah yang menggambarkan ketidak seriusan pemerintah dalam menyelesaikannnya kembali meletus. Konflik itu melibatkan Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) yang merupakan gabungan petani dari Desa Simalingkar A, Desa Durin Tunggal dan Desa Namobintang dengan PTPN 2 Tanjung Morawa Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Luas area yang menjadi konflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN 2 Tanjung Morawa Deli Serdang seluas 854 H. Yang terletak di desa Simalingkar A, desa durin tunggal, desa namobintang Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan data yang penulis peroleh, terkait asal usul tanah kebun berkala, secara historis tanah itu merupakan tanah bekas perkebunan Belanda dimasa penjajahan yang dikelola kompeni mulai dari tahun 1926 hingga 1938 yang dikenal dengan mascapai Deli Kuntur yang luasnya kurang lebih 300 hektar dan kini tanah itu terletak diwilayah Desa Bekala.

Pada tahun 1945 diera kemerdekaan Republik Indonesia orang-orang belanda tersebut di usir dari kebun bekala itu, sehingga paska kemerdekaan Republik Indonesia masyarakat mengambil alih perkebunan Belanda tersebut untuk dijadikan pemukiman dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kemudian, pada tahun 1954 masyarakat pun sudah mulai banyak bertempat tinggal dan bercocok tanam di dalam area tersebut, hal itu didukung oleh UU Darurat No. 8 Tahun 1954 dan selanjutnya didukung oleh UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang nasionalisasi aset-aset yang dimiliki oleh asing di ambil alih oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat.

Selanjutnya, pada tahun 1962 masyarakat yang bermukim disanapun kian bertambah banyak, membangun tempat tinggal dan bercocok tanam. Sehingga lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan bertanipun semakin meluas. Pada tahun 1963 hingga tahun 1964 pemerintah memiliki kebijakan untuk kembali mengaktifkan perkebunan eks belanda guna mendukung kas pendapatan negara dalam hal swasembada kelapa sawit. Namun, tragedi G 30 S/PKI tahun 1965 menyebabkan rencana pemerintah orde lama pun terhenti.

Pada tahun 1968, rencana pemerintah orde lama tadi dilanjutkan pemerintah Orde Baru paska peralihan kepemimpinan dari presiden Soekarno kepada presiden Soeharto. Lalu, pada tahun 1969 sampai 1973 pemerintah orde baru terus menggalakan tentang program perkebunan negara dengan kembali mengambil tanah tanah eks perkebunan belanda yang telah dihuni dan di duduki oleh masyarakat tersebut bahkan melampaui batas-batas luasan tanah kebun belanda dan menjorok ketanah-tanah petani.

Atas masifnya pemerintah orde baru (orba), pada tahun 1975 Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SK seluas 1.254 hektar untuk di kelola PTPN IX, yang mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat petani dengan pihak PTPN IX, represifnya orba waktu itu memaksa petani harus menyerahkan lahan mereka kepada PTPN IX.

Yang tidak menyerahkan kemudian dicap sebagai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) lantas dipenjarakan. Pada tahun 1976 hingga 1979 PTPN IX terus menerus memperluas areanya sesuai dengan SK Mendagri dan BPN, perlawanan dari masyarakat petani hanya diabaikan begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun