Â
Biasanya, saat mendengar kata "bullying" di sekolah, pikiran kita langsung tertuju pada siswa---mereka yang menggoda, mengintimidasi, atau mengejek teman sebayanya. Namun, ada kenyataan yang jarang dibicarakan, tersembunyi di balik dinding ruang guru dan rapat staf: praktik perundungan antarpendidik.
Fenomena ini mungkin tak mudah dikenali karena bentuknya tidak selalu fisik atau terang-terangan. Namun, dampaknya sangat nyata: suasana kerja yang memburuk, hubungan profesional yang renggang, dan bahkan turunnya kualitas pengajaran. Di Indonesia, isu ini belum mendapat perhatian yang layak. Artikel ini mencoba membawa praktik perundungan di kalangan guru ke permukaan, dengan mengupasnya melalui lensa teori sosial, studi kasus, dan strategi penanganan yang mendalam.
Kekuasaan yang Tersembunyi dan Suara yang Dibungkam
Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa kekuasaan tak selalu ditunjukkan lewat kekerasan langsung. Sering kali ia bekerja secara halus dan simbolik---melalui norma, bahasa, dan budaya yang tak tertulis. Dalam konteks sekolah, guru yang memiliki "modal sosial" atau dianggap senior bisa meminggirkan kolega lain yang tak sesuai dengan arus dominan.
Einarsen dan rekannya melihat perundungan di tempat kerja sebagai kekerasan psikososial yang terjadi secara berulang. Biasanya, ini muncul karena ketimpangan kekuasaan yang terus dibiarkan. Korban perlahan kehilangan legitimasi profesionalnya, merasa terisolasi, bahkan malu untuk bersuara.
Noelle-Neumann menambahkan dimensi lain lewat teori Spiral Keheningan. Banyak korban---dan juga saksi---lebih memilih diam daripada menghadapi risiko sosial yang lebih besar. Diam ini menciptakan lingkaran pembungkaman, yang secara tidak sadar justru memperkuat pelaku.
Kisah-Kisah Nyata yang Menggugah
Fenomena ini bukan teori belaka. Tahun 2023 di Maluku Tengah, seorang wakil kepala sekolah menjadi korban perundungan---bukan hanya oleh rekan sejawat, tetapi juga oleh siswa. Karena dianggap tak layak memegang jabatan, ia mengalami pengucilan, intimidasi, dan tekanan sosial yang terus-menerus.
Lain cerita terjadi di Jakarta Timur pada 2025. Seorang guru SMP dijauhi rekan-rekannya selama dua tahun, hanya karena dinilai terlalu dekat dengan kepala sekolah. Tak adanya sistem pelaporan yang memadai membuat kasus ini tak tersentuh, tak tertangani.