BANDA ACEH - Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) dari Program Studi Manajemen Bencana Fakultaa Teknik, Risma Sunarty, S.Si., M.Si., memberikan apresiasi terhadap langkah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), yang berkomitmen menertibkan seluruh aktivitas pertambangan ilegal di Provinsi Aceh.
Dalam keterangannya yang diperoleh oleh tim Humas Unmuha pada Sabtu, 27 September 2025, Risma menilai kebijakan tersebut tepat karena menyasar persoalan mendasar yang selama ini menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan.
"Dari sudut pandang kebencanaan, buruknya pengelolaan lingkungan merupakan faktor penting yang meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap berbagai bencana, seperti banjir bandang, genangan air, tanah longsor, dan bencana hidrometeorologi lainnya," ungkapnya.
Menurut Risma, kerusakan lingkungan di Aceh tidak terlepas dari praktik penebangan liar, aktivitas galian C, dan pertambangan ilegal yang merusak ekosistem. Lemahnya penegakan hukum terhadap aktivitas tersebut, lanjutnya, semakin memperparah degradasi lingkungan.Â
"Padahal regulasi terkait pengelolaan lingkungan telah banyak disusun. Namun, implementasinya masih lemah dan tidak tegas. Karena itu, diperlukan komitmen serta keberanian dalam penegakan hukum agar regulasi yang ada benar-benar berjalan di lapangan," tegasnya.
Ia menambahkan, pada level kabupaten/kota, penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) selalu menempatkan isu kerusakan lingkungan dan ketidaksesuaian tata ruang sebagai prioritas. Jika masalah tersebut tidak segera diselesaikan, bencana dengan dampak sistemik akan terus berulang.
Sebaliknya, bila ditangani secara serius, risiko bencana dapat ditekan secara signifikan. Oleh sebab itu, dukungan terhadap kebijakan penutupan tambang ilegal dan langkah penegakan hukum lain harus menjadi gerakan bersama.
"Jika penegakan hukum dan perbaikan tata kelola lingkungan benar-benar dijalankan, Aceh memiliki peluang besar untuk keluar dari persoalan banjir yang telah lama menjadi momok. Namun, ini bukan pekerjaan singkat; diperlukan waktu panjang, konsistensi kebijakan, dan keseriusan semua pihak," jelas Risma.
Risma optimistis, dengan kerja kolektif seluruh pemangku kepentingan, Aceh mampu membangun sistem pengelolaan lingkungan dan penanggulangan bencana yang kokoh serta berkelanjutan.
"Dengan bergerak bersama, dalam kurun 20 hingga 30 tahun ke depan, masalah banjir dan dampak turunannya dapat diatasi. Aceh dapat memiliki sistem pengelolaan lingkungan yang lebih kuat dan berkelanjutan," pungkasnya. (Humas)