Dalam konteks kekinian, tradisi ziarah, tawassul, dan tabarruk di Gunungpring justru menunjukkan relevansi tinggi. Di saat banyak generasi muda terjebak dalam rutinitas digital yang kering makna, kegiatan ziarah menghadirkan ruang refleksi, tempat belajar tentang kesederhanaan, rasa syukur, dan pentingnya hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Tradisi ini menjadi sarana pendidikan Islam non-formal yang menguatkan karakter spiritual dan moral generasi muda. Nilai-nilai yang diwariskan para aulia mengajarkan bahwa kemajuan zaman tidak seharusnya mengikis identitas keislaman dan kebudayaan lokal.
Integrasi Kearifan Lokal dan Nilai Keislaman
Temuan penelitian ini sejalan dengan komitmen Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNIMMA) untuk terus mendorong riset yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Melalui kajian seperti ini, UNIMMA berupaya menjembatani kearifan lokal dengan nilai-nilai Islam, sehingga lahir harmoni antara budaya, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan.
Lebih jauh, riset ini juga memiliki kaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dan SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan).
Tradisi ziarah Gunungpring menjadi contoh nyata bagaimana pelestarian budaya religius dapat mendukung pendidikan nilai dan karakter sekaligus menjaga keberlanjutan warisan budaya lokal.
Dari Gunungpring, pesan spiritual itu menggema: Islam hadir bukan untuk menghapus budaya, melainkan untuk memuliakannya dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
(Ening Widi)
lppm.unimma.ac.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI