Magelang, 6 Agustus 2025-Dunia industri ritel dikenal dengan tantangan besarnya dalam mempertahankan loyalitas karyawan. Tingginya tingkat turnover dan rendahnya komitmen menjadi persoalan yang kerap mengganggu stabilitas organisasi. Fenomena ini juga terjadi di PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk, lebih dikenal publik dengan nama "Alfamart", yang menjadi salah satu pemain ritel terbesar di Indonesia.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Annisa Rizky Anggunani, mahasiswi Psikologi Fakultas Psikologi dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), melakukan penelitian aplikatif yang menyoroti pentingnya orientasi kerja sebagai metode intervensi untuk meningkatkan komitmen organisasi pada karyawan baru.
Membedah Akar Masalah
Dalam studi lapangannya di cabang Balaraja, salah satu cabang terbesar Alfamart yang membawahi lebih dari seribu toko, Annisa menemukan sejumlah permasalahan klasik yang sering diabaikan: keterlambatan, ketidakpatuhan terhadap aturan mutasi, bahkan absensi tanpa alasan. Wawancara dengan pihak HRD dan survei terhadap 32 karyawan baru mengungkap bahwa banyak dari mereka merasa keberatan terhadap kebijakan lembur dan rotasi kerja.
Padahal, dalam teori manajemen SDM, komitmen organisasi merupakan fondasi bagi kinerja optimal dan loyalitas jangka panjang. Tanpa komitmen, produktivitas bisa terganggu, bahkan berdampak pada atmosfer kerja secara keseluruhan.
Orientasi Kerja Sebagai Solusi Humanis
Annisa merancang dan mengimplementasikan program orientasi kerja yang dilaksanakan selama satu hari, melibatkan 35 karyawan baru. Materi pelatihan mencakup pengenalan visi-misi perusahaan, struktur organisasi, nilai-nilai kerja, hingga jenjang karier. Tak hanya itu, pelatihan juga dilengkapi sesi goal setting, pembelajaran pemodelan, dan penguatan diri, dipandu oleh trainer dari divisi Learning Development PT Alfamart.
Hasilnya mencengangkan. Berdasarkan desain kuasi eksperimen one group pretest-posttest, ditemukan peningkatan signifikan nilai rata-rata komitmen dari 64,11 menjadi 89,77. Analisis statistik menunjukkan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05), menandakan keberhasilan intervensi secara ilmiah dan praktis.
Suara Lapangan: Karyawan Puas, Perusahaan Siap Tumbuh
Tak hanya data kuantitatif, Annisa juga mencatat respons positif dari peserta. Sekitar 63% peserta menilai materi pelatihan sebagai "baik", dan mayoritas merasa puas terhadap fasilitas serta penyampaian trainer. Ini menegaskan bahwa orientasi kerja bukan sekadar formalitas awal, melainkan proses membangun keterikatan emosional antara karyawan dan perusahaan.
Annisa menyarankan agar program orientasi kerja dijadikan agenda rutin dalam pelatihan karyawan baru, bahkan diperpanjang durasinya. Ia juga merekomendasikan penggunaan metode evaluasi kualitatif, seperti wawancara mendalam, untuk mengungkap lebih jauh dampak psikologis dari intervensi tersebut.
Penelitian ini tidak hanya bermanfaat secara praktis bagi perusahaan, tetapi juga mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Secara khusus, hal ini berkaitan dengan SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, yang mendorong terciptanya lingkungan kerja yang inklusif dan produktif, serta SDG 4: Pendidikan Berkualitas, melalui penguatan kapasitas individu lewat pelatihan yang relevan. Dengan pendekatan humanis dan edukatif seperti orientasi kerja, perusahaan dapat membentuk budaya organisasi yang sehat, menciptakan tenaga kerja yang tidak hanya terampil, tetapi juga terikat secara emosional dan loyal terhadap tempat mereka bekerja. (Ening Widi)
lib.unimma.ac.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI