Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Kartini, Blogger-Kompasianers, Hingga PLN: Habis Gelap Terbitlah Terang!

21 April 2016   23:07 Diperbarui: 22 April 2016   23:52 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Post ini sengaja saya buat pada hari Kamis, 21 April 2016. Tentu tahu sebabnya, karena Hari Kartini. Ya, hari Kartini yang selalu kita peringati, hari Kartini yang di jaman serba cepat informasi ini, juga penuh pro-kontra (lagi). Pasti.

Tapi bukan itu yang akan saya bahas, bukan setuju tak setuju, karena semua bebas berpendapat. Namun hikmah, atau ibroh yang bisa diambil dari setiap kejadian. Kejadian, serta hal-hal yang kadang luput dari silang-sengketa yang melewatkan substansial.

Tentang Kartini dan Gelap Terang.

Kartini, memang, mati muda. Kartini pula memang, dibilang hanya mampu bercerita. Curcol dan Baper kata anak jaman sekarang. Beliau tak setara perjuangannya, dan tak kentara perjuangannya, terkecuali polesan pencitraan dari penjajah Belanda.

Benar atau tidak, fakta sejarah membuktikan pemikirannya menjadi penerang generasi setelahnya.

Yang saya dari beliau adalah nilai hanya perjuangan yang terputus. Yang kata orang, Pena lebih tajam dari pedang. Kata orang. Dan karena kata orang pula-lah sosok Kartini menjadi panutan, kata orang pula maka sosok ini juga jadi kontroversi.

Padahal, di jaman tersebut,  tahukah Anda, tanpa berbahasa Belanda, tanpa sekolah, tak mungkin bisa bergerak. Satu hal mendasar memang katanya soal Kartini dan emansipasi wanita, yang membuat beliau "dipuja". Padahal, bagi saya, bukan itu persoalannya.

Kartini, bagi saya adalah orang terpelajar yang mau belajar. Lewat tulisannya. Dan ketika dia menulis, kepada sahabat penanya, menyerah kepada "kodrat wanita jawa", walaupun berkesempatan sekolah lanjutan di Betawi. Itu ketidakegoisan. Bukan menyerah. Ketidakegoisannya merupakan hal yang menarik. Untung sang suami mendukung.

Kartini, kata Abendanon yang membukukan surat-suratnya, “Dari gelap menuju Terang”. Makna yang tersirat banyak. Anda boleh katakan itu tentang Emansipasi. Saya mau bilang, ini tentang tajamnya pena. Dengan menulis.

Bayangkan, Rembang, Jawa Tengah Abad ke-19. Menulis. Ada lampu teplok, lilin temaram, atau bahkan hanya bisa dilakukan di siang hari kala matahari menantang. Habis gelap, terbitlah terang.

Pintar. Kartini pintar berbahasa, pintar menulis dengan bahasa lingua franca hindia belanda kala itu. Juga bahasa resmi pengantar pada masa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun