"Langkah Israel ini terjadi di tengah kebuntuan diplomatik antara Teheran dan Washington mengenai kelanjutan program nuklir Iran," tambah doktor lulusan Universitas Airlangga (Unair) itu.
Di saat pembicaraan tidak resmi di Oman mulai menunjukkan tanda-tanda hidup, serangan Israel justru memutus jalur komunikasi dan menciptakan atmosfer baru, bukan negosiasi, tetapi konfrontasi.
Dari sudut pandang Israel, mereka memiliki alasan strategis, intelijen menunjukkan bahwa Iran telah memperkaya cukup uranium untuk membuat sembilan hulu ledak nuklir.Â
Dalam kacamata Tel Aviv, ini bukan lagi sekadar ancaman potensial, melainkan krisis waktu.
Namun, lanjut dosen pakar Ekonomi Islam itu, dari sisi Iran dan sebagian besar pengamat 'netral', memandang dan menilai tindakan Israel sebagai provokasi yang sengaja dirancang untuk menggagalkan proses damai dan memaksakan kehendaknya atas komunitas internasional.Â
Memaksa Teheran merespons dengan meluncurkan ratusan drone dan rudal ke wilayah Israel sebagai balasan---eskalasi terbuka pertama sejak perang melalui proksi menjadi ciri konflik kedua negara dalam dua dekade terakhir.
Kepala Sekretariat Umsida itu mengungkapkan bahwa dalam kerangka geopolitik yang lebih luas, tindakan Israel dapat dibaca sebagai bentuk doktrin baru di timur tengah, yakni dengan tidak hanya menjaga batas wilayah, tetapi juga menyerang jantung negara musuh bila dianggap perlu.
"Hal ini menggeser batas-batas konvensional konflik regional dan menunjukkan bahwa Israel kini berani melakukan aksi militer terbuka terhadap negara berdaulat tanpa menunggu dukungan formal dari mitra seperti Amerika Serikat," tuturnya.
Potensi Menyeret Negara Lain untuk Terlibat
Tak hanya itu, Dr Adji berpendapat bahwa posisi AS sebagai sekutu utama Israel juga tengah berada dalam situasi cukup dilematis dan kompleks.Â
Bahkan, ia mengaku khawatir jika konflik kedua negara tersebut bakal menyeret pasar regional yang melibatkan banyak negara lain.
"Di satu sisi, Washington memahami kekhawatiran Israel atas kemungkinan senjata nuklir Iran. Di sisi lain, aksi militer ini merusak semua upaya diplomasi yang sedang dibangun dan berpotensi menyeret kawasan ke jurang perang besar yang bisa melibatkan kekuatan regional lain seperti Arab Saudi, Suriah, Irak, bahkan Rusia dan Tiongkok dalam dinamika yang lebih rumit," jelas Dr Adji.