Mohon tunggu...
Umi Salamah
Umi Salamah Mohon Tunggu... Penulis - Selamat datang di duniaku

Umi Salamah, lahir di Cilacap, 8 Agustus 2001

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ilusi

19 Juni 2020   13:02 Diperbarui: 19 Juni 2020   13:05 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Di sini, aku pernah tanamkan cinta untukmu. Di sini pula terdapat penyebab kau harus kehilanganku. Jantung dan hati, satu kesatuan yang membuat kita terikat dalam sebuah rasa bernama cinta. 

"Kumohon, jangan pernah lupa bahwa aku pernah menjadi paling beruntung karena bisa memilikimu. Kumohon, jika aku pergi jangan pernah sesekali kamu kehilangan arah untuk hidup. Barbahagialah jika ingin melihatku bahagia. Karena dirimu, adalah sumber terbesar kebahagiaanku." 

Aku memejam, setitik air mata kembali lolos dari sarangnya. Meski ragu, aku menyanggupi permintaannya itu. Entahlah. Aku tidak yakin akan berkawan dengan bahagia setelah kehilangannya. Dan, apa maksudnya dengan mengucapkan kata 'waktuku tidaklah lama'? Akankah setelah melepas rindu aku harus merengkuhnya kembali?

"Maukah kamu berjanji akan hal itu padaku? Aku hanya ingin melihatmu selalu bahagia...Gadisku," ucapnya lagi penuh harap. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menjawab satu pertanyaan itu rasanya begitu sulit. Bagaimana tidak jika dialah muara dari segala bahagiaku?

"A-aku, aku akan mencoba untuk selalu bahagia." Tepat setelah mengatakan itu aku kembali terisak. 

Dia melepas tanganku dari dadanya. Perlahan tapi pasti, ia memundurkan tubuh hingga genggaman tangan kita terlepas. 

Aku terkesiap. Jiwaku seakan direnggut paksa saat dirinya semakin jauh dari jangkauan mataku. Samar, kumelihatnya melambaikan tangan dan tersenyum manis seolah tengah mengungkapkan salam perpisahan. 

Aku teramat ingin mengejarnya, tapi kakiku seakan terbelenggu hingga sulit digerakan. Aku menjerit saat sosok itu lenyap bersama cahaya putih terang menuju kembali ke alam abadinya. 

Tubuhku meluruh ke tanah, aku menangis sejadi-jadinya. Benar saja! Takdir memang mempermainkanku sekarang. Dunia terasa sedang mengolok-olokku begitu kejam.

Untuk apa menyeretku ke dalam ilusi ini? Untuk apa mendatangkannya jika harus pergi lagi? Rasanya aku ingin memarahi takdir dan waktu yang telah bersekongkol menghancurkanku. 

Namun, apa hakku menjadi sekuasa itu? Aku biarkan bulir hujan yang mulai berlomba-lomba menghantam bumi mengguyur seluruh tubuhku. Hujan menyapu tangisku, bukan hanya sekedar memudarkan setiap bulir air mataku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun