Mohon tunggu...
Umar Khayam
Umar Khayam Mohon Tunggu... Penulis

Seseorang pembelajar. Kegiatan saat ini selain menulis juga berprofesi sebagai coach dan terapis energetik dengan modalitas Body Communication Resonance (BCR)

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Emosi dan Uang: Ilusi Pikiran yang Mempengaruhi Hidup

26 September 2025   00:05 Diperbarui: 26 September 2025   00:36 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang dan Emosi: Ilusi Pikiran yang Mempengaruhi Hidup

*Emosi dan Uang: Ilusi Pikiran yang Memengaruhi Hidup*


Suatu pagi saya berhenti sejenak di depan layar ponsel---melihat angka saldo yang tidak terlalu besar---lalu merasakan jantung sedikit menegang. Bukan karena angka itu sendiri; yang menegang adalah cerita di kepala saya: takut kekurangan, malu, dan ingatan lama tentang masa sulit. Itu adalah titik kecil yang saya amati: bagaimana satu angka bisa memantik seluruh film emosional dalam kepala. Dari pengamatan kecil itulah tulisan ini lahir --- bukan dari teori besar, melainkan dari kecermatan pada pengalaman sehari-hari yang sering kita abaikan.

Uang hadir sebagai benda nyata: koin, kertas, dan angka di layar. Namun hal yang paling kuat bukan bentuknya, melainkan "makna" yang kita tempelkan padanya. Inilah hal mendasar yang sering dilupakan: "uang netral". Arti, takut, atau lega yang melekat padanya adalah produk pikiran---narasi yang berputar, asumsi yang tidak diuji, dan memori yang menempel seperti lumut pada batu. Kita jarang menanyakan: dari mana cerita itu datang, dan apakah cerita itu benar?

Mari sama-sama telusuri sudut yang mungkin jarang ditulis orang. Kebanyakan tulisan soal uang berbicara tentang anggaran, investasi, atau mindset positif---semua penting. Tapi sedikit yang berhenti dulu, mendengarkan: bagaimana tubuh bereaksi ketika kita mengecek rekening? Apakah napas kita menipis? Apakah pandangan kita menurun? Observasi tubuh sederhana seperti ini membuka jalan untuk memisahkan fakta finansial dari dramanya. Saat kita mulai memisahkan---"ini fakta" vs "ini cerita saya tentang fakta"---kekuasaan emosi atas kita mulai pudar.

Ketakutan dan kebahagiaan yang berkaitan uang seringkali bersaudara: keduanya lahir dari proyeksi. Ketakutan memanaskan mesin imajinasi---menciptakan skenario terburuk yang belum tentu terjadi. Kebahagiaan materi, di sisi lain, rawan terjadwal: ia datang cepat dan pergi cepat seiring perubahan kondisi eksternal. Logikanya sederhana: jika emosi sepenuhnya bergantung pada variabel luar, kesejahteraan kita akan goyah setiap kali variabel itu berubah. Maka pertanyaan fundamental yang terlupakan adalah bukan "bagaimana mendapatkan lebih?" melainkan "bagaimana merumuskan relasi yang stabil dengan ketidakpastian?"

Satu ilusi yang kecil namun berat: ilusi transparansi. Saya sering mengira orang lain tahu betapa cemasnya saya saat menutup mata dan membayangkan tagihan menumpuk. Kenyataannya, orang sibuk dengan cerita mereka sendiri. Menyadari ini membebaskan. Beban yang kita pikul sering bukan karena situasi, melainkan karena asumsi bahwa kita sedang tampil di panggung dan semua mata memperhatikan kecemasan kita.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan --- bukan dengan motivasi besar, tetapi lewat praktik kecil yang melekat? Pertama, amati: lakukan eksperimen sederhana setiap kali Anda membuka aplikasi bank. Hentikan sebelum bereaksi. Rasakan napas tiga kali. Kedua, beri label: ucapkan dalam hati, "Ini kecemasan," atau "Ini kegembiraan." Memberi label memutus rantai reaktif. Ketiga, buat satu tindakan praktis: tulis satu langkah kecil (cek tagihan tertentu, cari informasi, atau hubungi seseorang) --- tindakan yang mengembalikan rasa mampu.

Ada pula hal fundamental yang sering diabaikan: hubungan antara perhatian dan pengeluaran. Perhatian yang tidak terjaga---scrolling, iklan, atau pembandingan sosial---menciptakan kebutuhan palsu. Menjaga perhatian adalah cara ekonomi dasar: sebelum membeli, tanyakan, "Apakah ini untuk kebutuhan atau untuk menenangkan cerita dalam kepala saya?" Pertanyaan sederhana itu menengahi impuls yang lahir dari emosi.

Akhirnya, hubungan sehat dengan uang lahir dari latihan pengelolaan pikiran, bukan sekadar strategi finansial. Mindfulness bukan sekadar kata kekinian; ia alat praktis untuk memeriksa narasi yang memicu emosi. Saat pikiran lebih jernih, emosi tidak lagi menjadi tuan---melainkan alat informasi yang berguna.

Saya menutup dengan ajakan kecil: amati satu reaksi Anda tentang uang hari ini. Hentikan 30 detik---tarik napas---beri label---ambil satu tindakan kecil. Ulangi esok. Dari kebiasaan kecil itu, logika dan rasa akan bertemu: tajamnya penalaran membebaskan dari ilusi, sementara sensitifnya rasa mengubah uang dari sumber kecemasan menjadi alat yang dapat dikelola dengan damai. Perubahan kecil di pikiran itulah yang bermanifestasi menjadi kebebasan emosi dan keteraturan dalam hidup finansial kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun