Mohon tunggu...
Umar Sofii
Umar Sofii Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengolah Delusi dari Candi Borobudur

18 September 2025   15:59 Diperbarui: 18 September 2025   15:59 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seperti petani yang mengolah tanah, menyiram, membersihkan gulma --- demikian pula, seorang bhikkhu mengolah pikiran, menyiramnya dengan Dhamma, membersihkan nafsu, kebencian, dan delusi." (AN 6.55). Dalam satu kalimat sederhana, Sang Buddha menyamakan latihan spiritual dengan kerja seorang petani. Itu bukan kebetulan, bukan pula sekadar analogi retoris, melainkan sebuah metafora yang dalam tentang  hidup yang bersifat universal.

Sebab, sama seperti tanah, pikiran kita pun bisa subur atau tandus, tergantung bagaimana kita merawatnya. Di antara semua "gulma" batin yang harus dibersihkan, delusi (moha/avijj) adalah yang paling halus, paling mematikan, dan paling sulit dikenali.Bayangkan seorang petani. Ia bisa dengan mudah mencabut rumput liar yang melambangkan nafsu (lobha), karena rumput itu tumbuh mencolok, menarik perhatian, bahkan indah namun tetap mengganggu. Ia juga dapat menghindari duri beracun yang melambangkan kebencian (dosa), sebab duri itu menusuk, menyakitkan, dan membuatnya waspada.

Akan tetapi delusi tidak semudah itu. Delusi justru seperti tanah yang asam, keras, atau terkontaminasi. Ia tidak terlihat secara kasat mata, namun membuat apa pun yang ditanam akan gagal tumbuh. Tidak peduli sebaik apapun benihnya, sebanyak apa air yang disiramkan, atau secerah apa sinar matahari, jika tanahnya rusak, tanaman tidak akan pernah tumbuh dan berbuah. Delusi adalah akar dari semua penderitaan. Tanpa delusi, nafsu dan kebencian tidak bisa bertahan lama, karena delusilah yang membuat kita salah melihat realitas: mengira yang fana itu kekal, mengira yang menyakitkan itu membahagiakan, mengira yang tanpa-diri itu "milikku". Seperti yang diungkapkan dalam Dhammapada ayat 277: "Semua kondisi tidak kekal --- siapa yang melihat ini dengan kebijaksanaan, ia akan bosan terhadap penderitaan. Inilah jalan pemurnian." Karena itu, mengolah delusi bukan berarti memerangi sesuatu yang jelas-jelas buruk, melainkan membersihkan tanah batin dari racun tak kasat mata yang senantiasa membuat kita buta terhadap kenyataan. Dan melakukan pekerjaan batin ini sama sulitnya, bahkan mungkin lebih sulit, daripada mengolah tanah tandus menjadi sawah yang subur.

Di sinilah keindahan ajaran Buddha bersinar, karena ia tidak hanya berbicara tentang langit, tetapi juga tentang tanah, padi, dan keringat petani. Dalam Salistamba Sutra, salah satu sutra paling awal yang menggunakan metafora pertanian, Buddha bersabda: "Seperti benih padi membutuhkan tanah, air, sinar matahari, dan waktu untuk tumbuh --- demikian pula, pencerahan membutuhkan sebab dan kondisi: moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, keyakinan, usaha, dan perhatian penuh." Ucapan ini bukan sekadar kiasan, melainkan hukum alam spiritual. Pencerahan bukan keajaiban instan, melainkan proses alami, seperti padi yang tumbuh perlahan, hari demi hari, dalam kesabaran dan ketekunan.

Di Candi Borobudur, metafora ini diabadikan dalam batu. Dipahat menjadi Relief-relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari --- bertani, berdagang, melahirkan --- bukanlah sekadar dekorasi, melainkan simbol bahwa pencerahan bisa ditemukan dalam hal-hal biasa, jika dipandang dengan mata Dhamma. Ketika seseorang mengatakan, "Pikiran yang subur bisa membuat benih padi tumbuh subur --- seperti benih Buddha-dhatu dalam Lotus Sutra," maka ia sedang menyatukan tiga aliran besar dalam satu pandangan utuh: Theravda melalui Salistamba Sutra, Mahyna melalui Lotus Sutra, dan kearifan lokal Nusantara melalui Borobudur. Inilah Dhamma yang hidup, bukan teori di atas kertas, melainkan praktik yang menyentuh bumi, akar, dan keseharian kita.

Dalam Lotus Sutra ditegaskan bahwa di dalam diri setiap makhluk, bahkan yang paling jahat sekalipun, terdapat benih Buddha yang utuh dan sempurna. Ini adalah kabar gembira sekaligus tantangan. Kabar gembira, karena tidak ada satu pun makhluk yang terhalang oleh kemungkinan mendapatkan buah pencerahan. Kemudian permasalahannya,  setiap benih itu tidak akan tumbuh jika tanahnya keras, kering, atau penuh racun delusi. Maka tugas kita bukanlah mencari benih dari luar, melainkan menyiapkan tanah batin agar benih itu bisa tumbuh. Kita perlu menggemburkan tanah melalui meditasi dan refleksi, membersihkan gulma dengan menjaga moralitas dan perhatian penuh, menyirami dengan Dhamma melalui belajar, diskusi, dan kontemplasi, serta memberi sinar matahari lewat keyakinan, cinta kasih, dan kebijaksanaan yang mencerdaskan. Dan seperti beih padi, benih itu butuh waktu. Ia tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diukur dengan standar orang lain, sebab setiap benih memiliki waktunya sendiri untuk bisa tumbuh.

Apa yang saya tulis ini  Adalah pandangan personal, meskipun sebenarnya menyentuh empat kebenaran besar dalam Dhamma. Pertama, kebenaran tentang potensi, bahwa semua makhluk bisa tercerahkan. Kedua, kebenaran tentang proses, bahwa pencerahan membutuhkan usaha, kesabaran, dan kondisi yang mendukung. Ketiga, kebenaran tentang delusi, musuh utama yang paling halus sekaligus paling sulit dikenali. Keempat, kebenaran tentang simbol dan budaya, bahwa Dhamma hidup dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam seni dan alam. saya tidak memisahkan spiritualitas dari kehidupan nyata, melainkan melihat sawah sebagai meditasi, cangkul sebagai alat latihan batin, dan padi sebagai simbol pencerahan. Inilah Dhamma yang sangat Nusantara sekaligus sangat Buddha.

Jika spiritualitas adalah pertanian, maka kita semua adalah petani. Bukan petani yang menunggu panen turun dari langit, melainkan petani yang bangun pagi-pagi, mencangkul tanah, membersihkan gulma, dan menyiram benih dengan sabar. Delusi mungkin tak terlihat, tetapi kita bisa merasakan efeknya: kegelisahan, kebingungan, kemelekatan, dan penderitaan. Obatnya pun bukan doa ajaib, melainkan kerja nyata, yakni mengolah tanah batin hari demi hari. Seperti dikatakan, "Jangan hanya mencari jawaban --- duduklah diam bersama pertanyaanmu. Karena di situlah, dalam keheningan itu, benih kebijaksanaan mulai berkecambah." Maka, marilah kita melanjutkan perjalanan ini, bukan dengan tergesa-gesa, melainkan dengan langkah yang mantap, hati yang terbuka, dan tangan yang siap mencangkul. Sebab pencerahan bukanlah destinasi, melainkan proses, dan proses itu dimulai dari tanah yang kita olah sendiri. Sabbe satt bhavantu sukhitatt --- Semoga semua makhluk berbahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun