embun bening menetes dari pucuk daun pisang menandakan kesejukan yang mulai hilang. Matahari mulai menunjukan cahayanya untuk menghangatkan semesta. Kabut yang menyelimuti mulai terbang menjadi awan disusul asap yang mengepul keluar dari sela-sela rumah penantian. Yah, penantian panjang akan sebuah pelaminan.
Orang-orang sibuk dengan tugasnya masing-masing dalam acara hari ini. Ada yang sibuk memasak makanan di dapur sekaligus memasak gosip-gosip agar lebih nikmat. Ada yang bertugas menjemput tamu dan ada juga yang menjadi pelayan tamu. Mereka semua sibuk dengan tugasnya masing-masing untuk mensukseskan acara pernikahanku dengan gadis yang kuimpikan selama ini, ya alfi nur azmi. Gadis yang kini duduk di sebelahku memakai gaun pernikahan berwarna putih lengkap dengan jilbab yang melengkapi keindahan ciptaan Tuhan.
Alfi nur azmi, gadis yang aku kenal tanpa sengaja akan tetapi membuat hatiku sengaja untuk mencintainya. Gadis yang polos akan segala hal, yang membuatku tulus dalam mencintainya. Mungkin ini terlalu berlebihan akan tetapi tidak ada kata berlebihan dalam mencintai seseorang.
Pagi itu, aku berangkat kuliah seperti biasa dengan menggunakan sepeda tua yang diberikan oleh pak sardi. Aku tahu pak sardi tidak ikhlas memberikan sepeda tua itu kepadaku, akan tetapi aku terpaksa menerimanya daripada setiap hari aku harus berjalan sejauh 3 Km jarak dari kost ke kampus tentu lebih nyaman naik sepeda, ya meskipun harus berkeringat.Â
Tiba di kampus, aku langsung masuk ke ruang kelas dan segera duduk di kursi yang masih kosong, kebetulan aku mendapatkan kursi di bagian depan. Aku merasa tidak nyaman dengan keringat yang terus menetes akibat bersepeda sehingga aku menoleh ke belakang dan berniat meminta teman yang di belakang untuk menyalakan kipas angin.
Saat aku menoleh, di situlah aku, pertama kali melihat gadis yang kini duduk disampingku menghadap penghulu. Ada perasaan indah yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ada kebahagiaan cinta yang mulai merasuk dalam dada. Ah, apakah ini cinta? Senyuman gadis ini tidak memberikan sebuah kebohongan akan masa depan, kepolosan wajahnya tak memberikan sebuah kebencian dan kedustaan. Hatiku bergetar dan menghancurkan kebekuan yang selama ini terpasang kuat dalam kontruksi hati.
"bagaimana para saksi?" "sah" jawab serempak oleh seluruh masyarakat yang hadir untuk meng-iyakan pertanyaan pak penghulu. Sebuah jawaban yang mengakhiri kerinduan dalam hati, sebuah jawaban yang menjadikan aku dan kamu dalam sebuah ikatan sakral, ikatan kita. Ya!!, keluarga kita.