Mohon tunggu...
Ulqi Rowiyana
Ulqi Rowiyana Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

MSG: Bumbu Gurih yang Sering Disalahpahami

24 Juni 2025   15:48 Diperbarui: 24 Juni 2025   15:48 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam dunia kuliner, MSG merpakan salah satu bahan tambahan yang namanya kerap memicu perdebatan. Sebagian orang menganggapnya sebagai penyelamat rasa yang mampu mengangkat nilai kelezatan makanan, namun ada juga yang mencibirnya sebagai racun tersembunyi yang wajib dihindari. Sayangnya, sebagian besar ketakutan masyarakat dalam penggunaan MSG lebih bersumber pada mitos, bias, dan kesalahan informasi daripada bukti ilmiah yang valid. Berdasarkan survei yang dilakukan persatuan pabrik Monosodium Glutamat dan glutamic acid Indonesia (P2MI), konsumsi MSG di Indonesia meningkat dari 100.568 ton menjadi 122.966 ton diperkirakan 1,53 gram/kapita/perhari. Konsumsi MSG di Indonesia terdapat pada tingkat rumah tangga, restoran/ katering, industri pengolahan dan pengepakan makanan. Ada banyak perdebatan tentang efek kesehatan penggunaan Monosodium Glutamate (MSG), dengan fokus publik pada dampak negatif dari penggunaan food aditive ini. Penelitian tentang MSG menunjukkan bahwa disatu sisi aman untuk dikonsumsi dan disisi lain dapat menyebabkan toksisitas terhadap fungsi organ-organ tertentu

Sejarah dan Awal Kontroversi MSG

MSG pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh ilmuwan Jepang yaitu Kikunae Ikeda, yang ingin mengidentifikasi senyawa penyebab rasa gurih dalam kaldu rumput laut kombu. Ia menyebut rasa umami menjadi rasa kelima yang kini diterima secara global, berdampingan dengan rasa manis, asin, asam. dan pahit. Untuk mempermudah penggunaan dalam masakan, Ikeda menambahkan natrium pada asam glutamate sehingga menghasilkan monosodium glutamate atau MSG. Temuannya dipatenkan dan diproduksi secara massal sebagai penyedap makanan.

Reputasi monosodium glutamat (MSG) mulai memburuk pada tahun 1968 setelah sebuah surat pembaca yang ditulis oleh Dr. Robert Ho Man Kwok diterbitkan di The New England Journal of Medicine. Dalam surat tersebut, Kwok menggambarkan gejala seperti mati rasa, kelemahan, dan jantung berdebar setelah makan di restoran Cina, dan menyebut MSG sebagai salah satu kemungkinan penyebabnya, meskipun ia juga menyebutkan garam dan anggur masak sebagai kemungkinan lain.

Surat ini memicu perhatian media yang luas, dan istilah "Chinese Restaurant Syndrome" (CRS) pun lahir. Meskipun tidak didasarkan pada penelitian ilmiah, narasi ini menyebar luas, memperkuat stereotip negatif terhadap masakan Cina dan bahan penyedap MSG. Penelitian awal yang mencoba mengaitkan MSG dengan gejala CRS sering kali memiliki kelemahan metodologis, seperti tidak menggunakan uji buta ganda, sehingga hasilnya tidak dapat diandalkan. Seiring waktu, banyak studi ilmiah yang menunjukkan bahwa MSG aman dikonsumsi oleh sebagian besar orang. FDA mengklasifikasikan MSG sebagai "Generally Recognized as Safe" (GRAS), dan penelitian lebih lanjut tidak menemukan bukti kuat bahwa MSG menyebabkan gejala yang dikaitkan dengan CRS.

Bagaimana Pandangan Ilmiah Tentang MSG?

MSG telah melalui banyak evaluasi ketat oleh berbagai badan pengawas kesehatan global dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi manusia dengan catatan dalam batas konsumsi wajar. Menurut FDA (Food and Drug Admnistration, Amerika Serikat), MSG termasuk dalam kategori GRAS (Generally Recognized As Safe). Ini berarti keamanan MSG didukung oleh konsensus ilmiah para ahli, setara dengan bahan-bahan umum seperti garam, gula, dan baking soda. FDA juga mencatat bahwa jumlah MSG yang biasanya dikonsumsi melalui makanan tidak menimbulkan efek samping pada populasi umum. Sedangkan EFSA (European Food Safety Authority) dalam evaluasi terbarunya juga mengonfirmasi bahwa MSG tidak menimbulkan bahaya kesehatan bagi konsumen bila dikonsumsi dalam jumlah moderat. Mereka memang menyarankan batas toleransi (Tolerable Daily Intake) dalam skenario konsumsi ekstrem, tapi menyatakan bahwa asupan normal masyarakat masih jauh di bawah batas tersebut.

Selain melalui evaluasi dari badan pengawas kesehatan, beberapa studi kasus juga telah dilakukan untuk menguji MSG salah satunya adalah penelitian double-blind, placebo-controlled yang merupakan standar emas dalam penelitian ilmiah telah dilakukan pada individu yang mengaku sensitif terhadap MSG. Salah satu studi terkenal dilakukan oleh Yang et al. (1997), yang melibatkan 130 peserta. Mayoritas subjek tidak menunjukkan reaksi negatif ketika tidak mengetahui apakah mereka mengonsumsi MSG atau plasebo. Ini menunjukkan bahwa gejala yang mereka alami kemungkinan besar dipengaruhi oleh ekspektasi negatif (efek nocebo), bukan oleh MSG itu sendiri. Selain itu studi persepsi yang dilakukan oleh Lestari dan Handayani (2019) dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas meyatakan bahwa lebih dari 60% responden di wiayah perkotaan memiliki persepsi negatif terhadap MSG, meskipun sebagian besar tidak mengetahui dasar ilmiah dari kekhawatiran tersebut.

MSG Bukan Musuh, Moderat Kuncinya

Monosodium Glutamat (MSG) sering kali disalahkan dalam berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, tekanan darah tinggi, dan penyakit krois lainnya. Sebenarnya banyak penelitian ilmiah telah mengindikasikan bahwa pemakaian MSG dalam takaran wajar tidak berisiko bagi kesehatan. Masalah gizi yang lebih mendasar di kalangan masyarakat Indonesia saat ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya konsumsi gula, lemak jenuh, kelebihan garam, makanan olahan ultra proses.

Menurut hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, konsumsi garam harian masyarakat Indonesia jauh melebihi batas yang dianjurkan yakni lebih ari 5 gram per hari sehingga meningkatkan prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 34,1 % dan banyak diantaranya tidak terdeteksi atau tidak terkontrol. Salah satu faktor risiko terbesar adalah konsumsi garam yang berlebihan. Menggunakan MSG secara moderat dalam memasak dapat membantu mengurangi konsumsi garam. Dengan menambahkan sedikit MSG, kita bisa mengurangi jumlah garam tanpa mengorbankan rasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun