Pernah nggak sih, kamu heran kenapa bisa hafal ratusan lirik lagu tanpa niat menghafal, tapi malah kesulitan mengingat satu paragraf dari buku pelajaran? Hal ini bukan semata-mata soal bakat atau daya ingat, melainkan soal bagaimana otak kita bekerja dalam menyerap informasi.
Belajar pada dasarnya adalah proses yang tidak otomatis, tapi bisa dilakukan di usia berapa pun. Meskipun begitu, anak-anak cenderung lebih mudah menangkap informasi karena otaknya masih sangat plastis dan responsif terhadap stimulasi seperti bermain atau mendengarkan musik. Kapasitas otak mereka yang tinggi membuat mereka menyerap ilmu dengan cepat, apalagi bila disampaikan lewat pengalaman menyenangkan.
Namun, ketika kita sudah dewasa, belajar sering kali terasa membosankan. Mengapa? Salah satu penyebab utamanya adalah materi pelajaran sering kali terasa hambar tidak menyentuh emosi. Padahal, emosi adalah pintu utama masuknya informasi ke dalam memori jangka panjang. Ketika materi terasa datar, tanpa cerita, tanpa makna, otak menganggapnya tidak penting untuk diingat.
Selain itu, banyak pelajaran tidak dikaitkan langsung dengan konteks kehidupan nyata. Coba bayangkan menghafal rumus matematika tanpa tahu aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari tentu terasa asing dan sulit melekat. Tanpa keterhubungan yang jelas, otak kesulitan mencari "gudang" yang pas untuk menyimpan informasi itu.
Faktor lain yang sering luput adalah kurangnya interaksi dan pengulangan. Banyak orang hanya membaca atau mendengar sekali, berharap langsung paham. Sayangnya, otak butuh pengulangan dan keterlibatan aktif entah lewat menulis ulang, berdiskusi, atau mengajarkan kembali. Itulah kunci pembelajaran yang bertahan lama.
Dan jangan lupakan satu hal penting: gaya belajar setiap orang berbeda. Ada yang lebih cepat menangkap informasi lewat visual, ada yang lebih mudah memahami lewat suara, gerakan, atau praktik langsung. Jika metode belajar yang digunakan tidak sesuai dengan preferensi otak, maka proses belajarnya pun jadi tidak maksimal.
Nah, di sinilah kita bisa meniru cara kerja lagu dalam membantu proses belajar. Lagu memiliki tiga kekuatan utama yang sangat disukai otak: pola, ritme, dan emosi. Saat mendengarkan lagu, otak kita tidak hanya mengaktifkan bagian pendengaran, tapi juga emosi, memori, bahkan motorik jika kita ikut menyanyi atau bergerak. Tak heran jika lagu bisa melekat kuat, bahkan tanpa usaha sadar.
Sebuah penelitian pada tahun 1988 oleh Gordon Shaw dan Xiodan Leng menunjukkan bahwa pola aktivitas otak ternyata memiliki struktur ritmis yang menyerupai musik. Mereka bahkan menyadari bahwa pola tersebut sangat mirip dengan karakteristik musik klasik seperti karya Mozart. Ini semakin memperkuat hubungan antara musik dan ingatan.
Dr. Jeffrey Thompson, seorang peneliti di bidang neuroakustik, juga menyebut bahwa otak kanan dan otak kiri memiliki fungsi berbeda dalam mengolah informasi. Otak kiri lebih logis dan analitis, seperti saat memecahkan soal matematika. Sedangkan otak kanan lebih kreatif dan imajinatif, seperti ketika mendengarkan musik atau menggambar. Maka dari itu, pendekatan belajar yang melibatkan kedua belahan otak akan jauh lebih efektif.
Salah satu cara paling praktis adalah menciptakan lagu atau irama untuk menghafal. Misalnya, mengganti lirik lagu anak-anak seperti "Bangun Tidur" dengan isi pelajaran seperti tabel perkalian atau nama-nama planet. Cara lain yang tak kalah efektif adalah belajar lewat audio seperti podcast, lagu, atau video pembelajaran yang memiliki musik latar yang menarik dan cara penyampaian yang menyenangkan.
Selain musik, metode visualisasi dan storytelling juga sangat membantu. Mengubah materi abstrak menjadi cerita atau gambaran konkret bisa membuatnya lebih mudah dipahami dan diingat. Misalnya, membayangkan sistem peredaran darah seperti sistem pengiriman paket dalam kota, bisa membuat topik tersebut jauh lebih "hidup".