Mohon tunggu...
Elisa Dwi Prasetya
Elisa Dwi Prasetya Mohon Tunggu... -oo-

Tulisan hanyalah bisikan kecil dari hati yang belajar melayani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekudusan yang Menggugah

5 Oktober 2025   20:06 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:12 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.sarapanpagi.org/takhta-vt32.html

"... ketika tokoh pergi, kekuasaan berubah, atau strategi gagal, barulah kita sadar betapa rapuhnya sandaran kita."

Kita hidup di dunia yang sangat mengandalkan perencanaan, strategi, dan kekuatan manusia. Figur-figur besar dipuja, sistem-sistem kokoh dianggap tak tergoyahkan. Namun ketika yang kita andalkan itu runtuh, ketika tokoh pergi, kekuasaan berubah, atau strategi gagal, barulah kita sadar betapa rapuhnya sandaran kita.

Di tengah kegelisahan seperti itulah Yesaya mendapatkan penglihatan yang menggugah (Yesaya 6:1-4). Ia melihat bahwa takhta sejati tidak pernah kosong, dan bahwa pelayanan yang sejati lahir bukan dari kekuatan manusia, melainkan dari pengenalan akan Allah yang Kudus.

Secara eksplisit ayat 1 menyebutkan bahwa penglihatan agung Yesaya terjadi "Dalam tahun matinya raja Uzia." Ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan penekanan pada sebuah era transisi dan krisis di Kerajaan Yehuda.

Raja Uzia (disebut juga Azarya) adalah salah satu raja Yehuda yang paling sukses, memerintah selama 52 tahun (sekitar 783-742 SM). Masa pemerintahannya ditandai dengan kemakmuran, perluasan wilayah, dan pembangunan militer yang signifikan. Ada stabilitas, kekuatan, dan kemakmuran selama lebih dari setengah abad. Bagi rakyat Yehuda, ia adalah pilar yang tampak tak tergoyahkan. Namun, dalam keadaan kemakmuran luar biasa itu, Uzia mati secara mendadak; ini menciptakan kekosongan kekuasaan dan ketidakpastian politik.

Penyebab kematian Uzia? Seperti dicatat dalam 2 Tawarikh 26:16-21, semuanya bermula dari dosa kesombongan. Setelah menjadi kuat, Uzia melanggar batas yang ditetapkan Allah. Ia masuk ke Bait Suci untuk membakar ukupan di mezbah--tugas yang hanya boleh dilakukan oleh imam keturunan Harun. Karena pelanggaran kekudusan ini, Allah menimpakan penyakit kusta kepadanya hingga akhir hayatnya.

Jadi, ketika takhta di Yerusalem kosong atau tercemar oleh dosa, Yesaya diizinkan melihat Takhta Sejati di surga. Yesaya melihat Raja yang sesungguhnya, yaitu TUHAN sendiri, duduk di atas takhta yang mahatinggi dan menjulang. Jubah-Nya memenuhi Bait Suci, menandakan bahwa tidak ada ruang di rumah Allah yang tidak dipenuhi oleh kehadiran dan kemuliaan-Nya.

Pengalaman ini bukan sekadar penglihatan biasa, melainkan sebuah pengalaman spiritual yang mengguncang. Serafim, makhluk surgawi yang melayani-Nya, menutupi wajah dan kaki mereka dengan sayap sebagai tanda kerendahan hati dan ketidaklayakan di hadapan Allah yang Mahakudus. Mereka berseru tanpa henti: "Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!" Seruan tiga kali ini (trishagion) adalah cara dalam tradisi Ibrani untuk menyatakan superlatif---kekudusan Allah dalam tingkat yang tak terbandingkan.

Jika "kudus" berarti terpisah dan murni, maka "kudus, kudus, kudus" berarti Maha Kudus, Absolut Kudus. Kekudusan Allah tidak hanya ada, melainkan tidak terbatas, tidak tertandingi, dan menjadi inti dari keberadaan-Nya. Dia adalah yang paling Kudus dari segala sesuatu yang dapat kita bayangkan.

Reaksi alamiah terhadap penglihatan ini pun menggetarkan. Ayat 4 menggambarkan pintu-pintu Bait Suci berguncang karena suara serafim, dan Bait Suci dipenuhi asap---simbol kehadiran Allah (Shekinah) yang menggentarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun