Mohon tunggu...
Ruslan Yunus
Ruslan Yunus Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis -

Belajar Menyenangi Humaniora Multidisipliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbelanja dan Bersedekah

4 Maret 2019   09:24 Diperbarui: 6 April 2019   09:36 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nah..., berikut ini Heshmat (2018) telah berbaik hati memberikan kita klu:  lima pola CBD -- yang sebagian nya dikutip dari beberapa sumber-- yang  perlu kita waspadai di dalam  melakukan aktivitas berbelanja. Termasuk sayapun, perlu mewaspadai nya.

Yang pertama adalah impulsive purchase. Pada pola berbelanja ini, kita membeli suatu barang atau jasa dengan hanya mengikuti impuls atau dorongan kata "hati". Tanpa pertimbangan yang matang terlebih dahulu. Ironinya bila kita menjadi keseringkan mencoba menyembunyi kan habit berbelanja ini. 

Padahal pola berbelanja seperti ini bisa berakibat banyak barang- barang yang sudah kita beli, langsung disimpan dan ditumpuk begitu saja. Karena mungkin sebenarnya, "tak begitu- begitu amat" kita butuhkan. Dan mungkin barang- barang itu hanya akan menjadi "sampah" di rumah kita.

Yang kedua adalah buyers high.  Disini kita menikmati "kehebohan" berbelanja yang mengasyikkan. Euporia berbelanja ini (merasa "senang" atau powerfull) bukan karena kita memperoleh barang atau jasa belanjaannya, tetapi lebih karena "aksi berbelanja" kita yang "heboh" itu.  Hahahaha.....

Kehebohan berbelanja ini biasanya terjadi bila kita melihat suatu barang (atau jasa) yang diinginkan dan langsung memutuskan membelinya. Yang perlu diwaspadai, pola berbelanja ini berpotensi menjadi adiksi

Yang ketiga adalah shopping to dumpen unpleasant emotions. Pola berbelanja ini merupakan suatu cara untuk mengisi kekosongan emosional kita. Seperti perasaan kesendirian, rendahnya kontrol dan rendahnya kepercayaan diri. Seringkali suatu mood negatif, misalnya argumen atau emosi akan memicu "pembenaran" cara berbelanja kita ini. 

Emosi negatif ini bisa saja berkurang, tetapi sifatnya hanya sementara. Ia akan segera digantikan oleh perasaan keterasingan (anxiety) atau perasaan bersalah.

Yang keempat adalah guilt and remorse. Pola berbelanja ini diikuti oleh rasa penyesalan. Kita merasa bersalah, tapi merasa tidak bertanggung jawab karena berpendapat bahwa berbelannja itu "suka- suka hati". Kondisi ini bisa menciptakan lingkaran setan yang menghasilkan perasaan negatif lain yang menyulut suatu "penyesuaian" baru. Yaitu berbelanja lagi barang berikutnya.

Yang kelima adalah the pain of paying. Membayar secara tunai boleh jadi terasa lebih "menyakitkan" (painful) dari pada membayar dengan kartu kredit. Padahal pendorong fsikologis utama berbelanja dengan kartu kredit adalah karena kita memisahkan dua hal itu. Antara kenikmatan berbelanja saat ini dan painful saat menebus utang kredit yang jatuh tempo.

****

Bukankah kita telah diajarkan untuk makan dan minum, tetapi makan dan minum yang tak berlebih- lebihan?  Seperti itu pulalah kita diajarkan berbelanja yang tak berlebih- lebihan. Berbelanja makanan, pakaian, tas pesta, perabotan, asesori, kuota, fesyial, fun dan seterusnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun