Mohon tunggu...
Ruslan Yunus
Ruslan Yunus Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis -

Belajar Menyenangi Humaniora Multidisipliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergilah Menemui Tuhanmu !

24 Oktober 2017   08:53 Diperbarui: 9 November 2018   23:40 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari bagaimana sesungguhnya "pertarungan" itu betlangsung,  ketika menurunnya kompleksitas sistem tubuh, kegagalan "komunikasi" antar sel dan jaringan, dan penumpukan sisa "entropi" di dalam tubuh mencapai "titik akhir" nya, maka disitulah mungkin titik kematian seseorang. Pada saat itu terjadi, mungkin laju pemulihan sel dan jaringan tidak lagi mampu "menahan"  laju kerusakan sel dan jaringan. Kapan itu akan terjadinya, hanya Allah yang mengetahui.

Bila Wang dan Michelisch melihat proses penuaan (menuju kematian) dari dimensi fisiologi tubuh manusia, Rumi (1207-1273) melihat kematian dari dimensi transendental.  Di dalam  Matsnawi-nya, Rumi  memandang kematian bagi mereka yang menjaga ketulusan hati, sebagai sebuah jalan peralihan untuk masuk ke dalam "Cahaya".  Bagi mereka yang menjaga ketulusan hati, kematian --dalam pandangan sufistik Rumi-- adalah  pulang kepada-Nya dengan penuh "kegembiraan".  Ketika tanah berubah menjadi emas, tak tersisa lagi tembikar. Ketika derita berubah menjadi bahagia, tak tersisa lagi duri nestapa.

"Sesungguhnya kita semua ini adalah milik Allah, dan kepada Allah, kita semua akan kembali". Demikian   tauziah dan pengantar doa pak ustaz mengantar kepergiaan almarhum --adik saya itu-- menghadap Ilahi Rabbi. 

Sebelum dimakamkan, janazah disalatkan di sebuah masjid. Masjid, dimana almarhum bersama nenek mertua, ayah-ibu mertua dan istrinya merintis penyiapan lahan dan pembangunan masjid itu sampai selesai. Dan selanjutnya, ia masih terus mengurus penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana masjid, sampai saat- saat terakhir almarhum. 

Kini masjid mungil yang indah dan sejuk itu, yang terletak di deretan pertokoan kota Pare- Pare, telah beberapa tahun ini digunakan oleh warga dan karyawan toko dan kantor di sekitarnya untuk salat berjamaah lima waktu. Biarlah ia menjadi amal jariah yang pahalanya tak akan pernah berhenti mengalir.

"Meski merasa sangat kehilangan, kami disini: ibumu, ibu mertuamu dan para orang-tuamu, kedua putramu Insyar dan Fikri, saudara-saudaramu, kemanakan- kemanakanmu, dan sahabat- sahabatmu telah mengikhlaskan mu. Bersama untaian- untaian doa kami, pergilah menemui Tuhan- mu, kembali kepada- Nya dalam keadaan ridha dan diridhai (oleh-Nya). Meski kami disini masih merindukanmu. Merindukan kebaikan- kebaikanmu! "Allahummar hamhu wa afihi wa'fu anhu".

Bukit Baruga- Makassar, 24 Oktober 2017.

kompasiana@ruslanyunus. 

text: all rights reserved.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun