Mohon tunggu...
Ulil (pipit) Fitriyah
Ulil (pipit) Fitriyah Mohon Tunggu... -

"Ngangsu lan ngisi"

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Anak Gembala Pun Bisa Sekolah di Australia

14 November 2017   09:11 Diperbarui: 14 November 2017   09:36 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku adalah anak gembala, selalu riang serta gembira ..." masih ingat dengan lagu itu kan? Iya, lagu ini dinyanyikan oleh penyanyi cilik Tasya di awal tahun 2000-an. Namun bukan tentang lagu tersebut kisah ini saya tulis. Tetapi lagu ceria ini mungkin tepat untuk menggambarkan sepenggal kisah hidup saya bersama ayah, ibu serta saudara-saudara saya dimasa kecil dulu. Lagu ini juga menggambarkan betapa kisah keceriaan di masa lalu itu bisa menjadi penyemangat bagi saya untuk terus melangkah meraih cita-cita.

Saya lahir dari keluarga peternak di sebuah kota kecil bernama Lumajang, Jawa Timur. Walaupun tinggal di kota kecil dan tumbuh di tengah keluarga yang tak memiliki backround pendidikan hingga ke jenjang lebih tinggi, justru menjadi tantangan tersendiri buat saya. Ayah saya pendidikan dasar pun tak tamat, sementara ibu saya harus mengakhiri pendidikannya di bangku SMP.

 Namun, kondisi ini tidak menyurutkan langkah saya sebagai satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara untuk mengejar cita-cita serta impian bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Didikan ayah serta ibu dalam menjalani hidup memberikan pengaruh yang cukup besar dalam hidup saya. Hingga akhirnya saya memiliki tekad yang sangat kuat untuk terus mewujudkan mimpi -- mimpi saya. 

Saya ingin menembus batas, meski berada dalam keterbatasan. Semangat, ketekunan dan kerja keras ayah dan ibu selalu menginspirasi saya. Semangat Ayah dan ibu, yang memulai usahanya mengembalakan bebek dalam skala kecil dari tahun ke tahun, hingga akhirnya dia berhasil mendirikan peternakan bebek sebagaimana yang pernah beliau cita-citakan, menjadi titik tolak dimana saya selalu mencontoh semangat orangtua saya, meski dalam keterbatasan.

Saya masih teringat respon keluarga ketika saya baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Berbekal kepercayaan diri yang tinggi, saya mengutarakan niat dan bersikeras ingin melanjutkan kuliah di kota Malang, kota pedidikan dengan kampus-kampus yang berdiri megah. Di kota dingin inilah saya ingin mengawali impian saya. Kenginginan saya ini tentu membuat keluarga khawatir, jika tinggal jauh dari kampung halaman.

 "Untuk apa perempuan jauh-jauh kuliah, nanti toh akan jadi ibu rumah tangga" ujar beberapa sanak kerabat. 

Namun ingatan saya terhadap ayat Allah yang menyatakan bahwa "Allah SWT akan meninggikan derajat orang -- orang yang beriman dan diberi ilmu pengetahuan bererapa derajat". Semakin menguatkan tekad untuk mencari ilmu. Niatan untuk mendapatkan keberkahan ilmu agar dapat memberi manfaat bagi banyak orang merupakan sebuah impian. Jawabannya hanya satu ... Kejar impian itu dengan kerja keras, semangat dan tentu dengan doa yang tak henti-hentinya.

Akhirnya keluarga setuju dan mengizinkan saya untuk melanjutkan kuliah di kota Malang. Belum selesai kuliah S1, dengan penuh percaya diri, saat pulang ke kampung halaman pada saat libur kuliah, saya membawa buku -- buku dan brosur tentang kuliah di luar negeri. Tentu sebagai orang tua, ibu saya kembali terkejut, "Kamu pengen kuliah diluar negeri nduk? Jangan mimpi terlalu tinggi, dapat uang dari mana buat bisa kuliah di luar negeri?" mendengar kata -- kata beliau, saya langsung terdiam dan lari ke kamar sambil menangis. Dalam isak tangis saya, saya berjanji dalam hati "Ibu, insyaallah saya akan tetap melanjutkan kuliah S2 meski tak harus ke luar negeri. Juga tanpa harus merepotkan ibu dan kakak lagi." Memang, pada saat itu kondisi ekonomi di keluarga kami sedang carut marut semenjak keluarga kami diuji dengan kondisi kesehatan ayah kami.

Mulai saat itu, saya mulai melupakan mimpi untuk bisa kuliah ke luar negeri, walaupun demikian semangat untuk menuntut ilmu masih terus membara. Setelah lulus S1, mulailah saya menjalankan janji untuk tidak lagi merepotkan keluarga dalam hal keuangan. Bekerja, yah .. Bekerja,berbekal percaya diri dan kemampuan berbahasa inggris. Saya mulai mengajar di beberapa lembaga. Memanfaatkan waktu luang untuk memberi kursus private dari rumah ke rumah. Hingga akhirnya saya bertemu dengan seorang kawan yang memberi informasi tentang peluang kerja di universitas tempat saya menuntut ilmu. 

Mulailah saya bekerja sambil mencari beasiswa S2 di dalam negeri. Ilmu dan senantiasa menjadi pembelajar, itulah yang selalu menjadi tujuan. Alhamdulillah, akhirnya upaya itu membuahkan hasil. Saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi swasta dengan beasiswa 50% dari biaya kuliah. Kombinasi antara 'tekad' dan 'nekat', dengan penghasilan yang pas -- pasan saya mengambil kesempatan tersebut meski saya harus mengambil jurusan yang sama sekali berbeda dengan materi kuliah yang pernah saya tempuh saat S1. Tidak disangka-sangka kenekatan saya berbuah manis dan justru menjadi batu loncatan. Pilihan jurusan yang tak linear antara S1 dan S2 yang saya tempuh menjadi bekal dan jalan bagi saya mempersiapkan diri untuk melamar beasiswa ke luar negeri.

Bersyukur ... Mensyukuri pada apa yang telah kita capai, menghargai pada peraihan-peraihan yang telah kita dapatkan, tanpa harus menganggap diri merasa kecil dan minder dalam kondisi apapun, dan tetap rendah hati. Ini adalah hikmah yang bisa diambil dari perjalanan yang saya lalui sejauh ini. Namun tak lupa pula, kekuatan yang begitu lembut dan selalu terbayang dimanapun saya berada, adalah ... Wajah lembut seorang ibu dan ayah. 

Masih teringat dulu semasa hidup ayah saya, beliau dengan polos sering berkata "sekolah yang jauh sekalian, kalau bisa sampai ke luar negeri" Meskipun pada saat itu hanya nampak seperti sebuah candaan, namun bagi saya kalimat itu adalah merupakan sebuah Doa. Demikian juga, doa ibu yang selalumenyertai membuat saya bisa memiliki sejuta harapan. Setiap restu ibu seolah menjadi pintu jalan keluar dari setiap masalah. Bait-bait doa ibu selalu tercurah untuk anak-anaknya tercinta.

Sungguh tak disangka, belum menyelesaikan kuliah S2, kembali ... seorang sahabat memberi informasi tentang beasiswa S2 ke luar negeri. Ya Allah ... Apakah ini sebuah jawaban atas doa-doa. Sebuah kesempatan mengapa tidak disambut dengan baik? Bila saja diterima, Alhamdulillah. Namun bila tidak, kesempatan ini akan memberi pengalaman tersendiri. Saya berharap atas hasil terbaik.

Dimulai dengan mengikuti tahap penjaringan yang diselenggarakan oleh kampus tempat saya bekerja. Tes tahap awal, Alhamdulillah ...berhasil. Saat itulah saya bercerita kepada ibu, bila mendaftar beasiswa ke luar negeri. Mendengar cerita ini, ibu saya tidak mampu memberikan jawaban apa--apa. Sungguh ... Beliau hanya terdiam. Bahagia tentunya karena saya mampu membuktikan apa yang telah menjadi tekad saya sejak lama, dan ... Sedih, karena mengingat, saya akan pergi jauh darinya. 

Namun, kembali saya meyakinkan bahwa semua ini adalah sepenggal perjalanan. Ini adalah sebuah pengalaman hidup yang akan menempa saya menjadi anak sekaligus pribadi yang bisa lebih bermanfaat terhadap sesama. Namun, ibu saya masih terdiam...Saya menangkap isyarat ibu diam, berarti ibu tak restu saya menangkap peluang kuliah ke luar negeri. Saya mulai tak semangat mengerjar beasiswa ke luar negeri, tanpa restu ibu.

Tiba pada tahap selanjutnya, yaitu tes IELTS dan wawancara. Kembali teringat akan restu orangtua, saya hampir memutuskan untuk tidak melanjutkan pada tahap ini. Bagi saya restu orangtua adalah begitu penting. Untuk apa saya pergi jauh-jauh ke luar negeri bila orangtua saya tidak merestui? Ini sangat prinsip bagi saya. Namun, beberapa sahabat menyemangati untuk tetap menjalani tes berikutnya serta mengingatkan, bahwa semua ini adalah untuk pengalaman.

Ditengah kegalauan ini, tak disangka-sangka ibu datang ke Malang. Beliau tiba-tiba memberikan restunya, beliau berkata, "Pergilah bila itu memang sudah menjadi tekadmu, insyaallah ibu merestui bila kau melanjutkan sekolah ke luar negeri." Lega sekali mendengar kata--kata beliau. Semangat saya seketika kembali dan hanya dengan sisa beberapa hari saja, saya kembali bersemangat belajar untuk mempersiapkan menghadapi tes berikutnya. 

Akhirnya tes IELTS dan wawancara sudah, tinggal menunggu hasilnya. Berdoa untuk hal yang terbaik. Namun yang paling penting bagi saya adalah pengalaman berharga selama proses ini. Dalam hati, kembali saya bertekad bahwa apa yang saya lakukan ini adalah untuk mencari ilmu dan keberkahan.

Hingga pada akhirnya, 11 Juni 2010, seperti mimpi rasanya saya bisa menginjakkan kaki di negeri Kanguru ini. Sebagai seorang anak pengembala, yang bukan hanya bisa mengembalakan ternak saja. Namun kugembalakan cita-citaku sejak dahulu untuk belajar sampai ke Luar negeri. Akhirnya kini ... Tercapailah apa yang diimpikan. Semua ini karena doa serta ridho dari orang tua kita, akhirnya Allah memberi atas apa yang kita inginkan. 

Sahabat ... Selalu peliharalah cita-citamu. Bukankah banyak orang memiliki cita-cita serta impian, namun impiannya lepas ditengah jalan. Karena kurang bisa untuk memelihara impian-impiannya. Peliharalah cita-citamu, carilah peluang dan jangan hanya berpangku tangan ... Akhirnya saya menyimpulkan bahwa mendapat beasiswa bukanlah hanya karena kemampuan intelegensi saja, namun seberapa jauh seseorang mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Tetap semangat dengan apa yang menjadi tujuan dan ... Restu orang tua adalah yang utama.

#repost dari http://motivasibeasiswa.org/2013/03/08/ulil-fitriyah-anak-gembala-pun-bisa-sekolah-di-australia/

#mengumpulkankembaliyangterserak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun