Assalamu'alaikum,
Dilema pengangguran begitu topik pilihan mimin kali ini, dan aku kembali ke tahun 2009 akhir kala di jam kerja tak biasanya Mamak meneleponku. Isak tangis terdengar, Mamak mengabarkan Papa sedang di UGD dilarikan ke rumah sakit karena serangan stroke yang mendadak.Â
Aku pernah menuliskannya juga bagaimana Papa saat terkena stroke dan berkat tulisan itu ada banyak yang mengirimkan pesan kepada ku sekadar bertanya terkait obat stroke. Ketika Papa stroke di rumah kami hanya ada Mamak, abang dan adik-adikku juga merantau dan tentu saja kami berpikir "siapa diantara kami yang akan menemani Mama merawat Papa?"
Disaat bersamaan, perusahaan kami sedang dalam pertikaian dengan pengadilan. Keputusan manajemen adalah terpaksa merumahkan sebagian karyawannya. Isu ini belum tersebar namun aku bisa mengetahuinya karena aku Personal Asisten Direktur dan aku melihatnya sebagai jalan keluar untuk masalah ku. Bagaimana kalau aku mengajukan diri untuk di PHK lalu bisa membersamai Mamak untuk merawat Papa. Kisah aku di PHK juga pernah aku tulis di sini.
Momen Menganggur: Ketika Tak Bekerja Justru Menjadi Waktu Terbaik Berbakti
Singkat cerita akupun menjadi seorang pengangguran, mungkin memang sengaja menjadi pengangguran demi bisa merawat Papa. Bagi banyak orang, status pengangguran adalah fase yang menakutkan, penuh tekanan dan kekhawatiran finansial. Namun, tidak semua pengangguran adalah bencana. Bagiku pribadi saat itu, menganggur justru menjadi jendela berkah, momen emas untuk berbakti kepada orang tua, khususnya merawat Papa yang sedang terserang stroke.
Ketika aku mengetahui rencana efisiensi maka dengan sukarela aku mengajukan diri untuk terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bukan karena ingin berhenti bekerja, tapi aku harus berhenti supaya masalah di rumah bisa ada jalan keluar.Â
Mamak yang bingung seketika makin bingung mendengar rencanaku hehe. Tapi pada akhirnya memang tak ada jalan keluar selain keputusanku untuk berhenti bekerja, Mamak tak mungkin memikul beban itu sendirian.
Keputusan itu berat. aku tahu risikonya menjadi pengangguran, kehilangan penghasilan tetap, dan berhadapan dengan ketidakpastian. Tapi aku beruntung, perusahaan tempatku bekerja memberikan pesangon senilai enam bulan gaji. Jumlah itu cukup untuk menopang kebutuhan hidup ku selama beberapa waktu, sekaligus memungkinkan merawat Papa tanpa harus khawatir soal keuangan.
Tak terasa sudah lima bulan aku menganggur, selain merawat Papa dan membantu Mamak, aku tetap menjaga hubungan dengan rekan kerja, atasan, dan kolega profesional. Aku tahu, jaringan sosial itu adalah investasi yang tak kalah penting dari tabungan finansial. Benar saja, menjelang bulan keenam, ketika pesangon hampir habis, aku mendapatkan tawaran kerja baru. Semua karena koneksi yang aku jaga selama menganggur.