Betapa sedih hati ini ketika mendatangi Y, wajahnya menatap sedih dan semua tugas gak ada yang diselesaikan. Ketika ditanya kenapa? Jawabannya "Tak ada yang mengajari saya". Ya rab..bagaimana ibunya? Duh Mas Menteri mungkin di Singapura gak pernah dengar ya ada orang tua yang buta huruf? Itulah yang dialami ibu Y, gak bisa baca dan gak tahu juga mau membantu anaknya menyelesaikan tugas.
Lantas sekarang Mas Menteri punya wacana PJJ mau dipermanenkan? Jangankan Ibu Y, saya saja gak mampu! Saya masih harus bekerja Mas buat mencukupkan kebutuhan keluarga. Saya juga gak punya ilmu mentransfer segala pengetahuan. Ada banyak anak yang manut sama omongan orang lain daripada orang tuanya, itulah mengapa saya mengirim anak saya ke sekolah.
Tolong kaji ulang wacana PJJ menjadi permanen, tolong jangan bunuh impian anak asuh seperti Y. Hanya dengan tatap muka di sekolahlah Y punya kesempatan mendapatkan ilmu, karena tak semua orang tua punya kemampuan seperti Mas Menteri.
PJJ akan membuat anak-anak tak memahami keberagaman, PJJ akan membuat anak tak merasakan persaingan (lah kan aturan Mas Menteri toh semua.murid harus naik saat pandemi kemarin?), PJJ akan membuat anak egois karena minim sosialisasi.
Tolong turun ke lapangan untuk melihat kondisi real pendidikan, udah gak zamanlah Menteri kaget mendapati ada desa yang gak ada listrik. Gunakan powermu untuk dapatkan data berapa persen sih wilayah yang sudah dialiri listrik dan internet, gunakan kuasamu buat datang ke daerah pelosok. Please stop bicara teknologi disaat masih ada orang tua yang buta huruf.
Jangan lagi bilang kaget masih ada orngtua yang buta huruf, kerjaan menteri bukan untuk kaget!!