Mohon tunggu...
Suci Wulandari
Suci Wulandari Mohon Tunggu... -

Manajemen Asuransi Kesehatan FKM UI 2011

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sistem Rujukan Membuat Peserta JKN Merajuk

31 Oktober 2014   09:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulai tanggal 1 Januari 2014, PT Askes Indonesia (Persero) berubah nama menjadi BPJS Kesehatan sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang BPJS. Selain itu, perubahan ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang antara lain mengamanatkan dapat dilaksanakannya jaminan dan perlindungan kesehatan secara semesta/ universal coverage bagi seluruh penduduk dan rakyat Indonesia berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.

BPJS Kesehatan menggunakan prinsip managed care dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada pesertanya. Prinsip managed care ini dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang dimana dalam pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan harus dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama seperti Klinik, Dokter Keluarga, dan Puskesmas yang berperan sebagai gate keeper. Jika PPK tingkat pertama tidak bisa menangani diagnosis pasien dan harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih seperti pelayanan kesehatan spesialis, dan subspesialis maka peserta di rujuk ke rumah sakit sebagai PPK tingkat lanjut dengan membawa surat rujukan. Namun ada pengecualian untuk peserta yang dalam keadaan gawat darurat bisa langsung dibawa ke rumah sakit tanpa harus ke PPK tingkat pertama.

Tujuan diberlakukannya sistem rujukan ini yaitu untuk menghidupkan kembali dan mengoptimalkan peran puskesmas, klinik, dan dokter keluarga dalam melayani masyarakat. Namun, prosedur sistem rujukan ini memakan waktu yang lama dan berbelit-belit. Berdasarkan pengalaman dari salah satu peserta BPJS Kesehatan, ia sudah ke faskes tingkat pertama untuk meminta rujukan ke spesialis, sebelumnya ia diperiksa oleh dokter umum di faskes tingkat pertama tersebut. Setelah diperiksa dan mendapat surat rujukan untuk ke spesialis, kemudia ia pergi ke RS yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Namun saat ia pergi ke RS tersebut ternyata dokter spesialis tersebut hanya praktek pada hari tertentu, sehingga ia tidak bisa langsung mendapatkan pelayanan. Kemudia, ia balik lagi minggu depan ke RS tersebut untuk ke dokter spesialis, namun ternyata harus ke dokter umum yang ada di RS tersebut untuk meminta rujukan lagi dan antri lagi. Setelah diperiksa di dokter umum dan mendapat surat rujukan maka ia bergegas ke dokter spesialis namun ternyata dokternya sudah pulang dan ia baru bisa berobat esok hari. Setelah itu, 2 minggu kemudian ia ingin konsul ke dokter spesialis, dengan membawa surat rujukan dari dokter umum , dimana surat rujukan tersebut berlaku untuk 1 bulan, sehingga tidak perlu meminta surat rujukan lagi. Namun ternyata ia harus meminta surat rujukan lagi ke dokter umum dan antri lagi karena ada update proses dokumen.

Dari pengalaman ini, bisa disimpulkan walaupun tujuan diberlakukannya sistem rujukan untuk menghidupkan kembali dan mengoptimalkan peran puskesmas, klinik, dan dokter keluarga dalam melayani masyarakat dan menghindari penumpukan pasien di RS tetapi harus ada prosedur yang jelas. Sebenarnya surat rujukan untuk ke spesialis cukup dari faskes tingkat pertama atau juga harus ke dokter umum di rumah sakit tersebut? Kompetensi dokter umum di rumah sakit dengan dokter umumyang ada di faskes tingkat pertama hampir setara, jadi mengapa harus membuat surat rujukan dua kali yang memakan waktu lama untuk mengatri lagi sambil berlomba dengan jam praktik dokter spesialis yang hanya ada diwaktu tertentu?

Seharusnya, pelayanan untuk faskes tingkat lanjutan cukup dengan membawa rujukan dari faskes tingkat pertama, tidak perlu lagi meminta surat rujukan ke dokter umum yang ada di faskes tingkat lanjutan tersebut. Hal ini sesuai dengan Permenkes No. 28 Tahun 2014 BAB IV tentang Pelayanan Kesehatan dijelaskan pada Ketentuan Umum poin 5 bahwa “pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.”

Jika hal ini dibiarkan, berapa banyak peserta yang harus berkorban waktu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan? Mereka harus mengorbankan waktu mereka akibat proses yang berbelit-belit. Hal ini sangat merugikan, karena mereka setiap bulan membayar iuran untuk jaminan kesehatan mereka, tetapi saat mereka memanfaatkan jaminan tersebut malah secara tidak langsung juga berkorban waktu yang bisa berpengaruh terhadap produktifitas mereka. Selain itu sering terdengar pula pasien BPJS Kesehatan dianaktirikan dengan pemberian pelayanan yang dipersulit dibandingkan dengan pasien umum lainnya. Apa bedanya? toh, pasien BPJS Kesehatan dengan pasien umum sama-sama membayar, tidak gratis untuk mendapatkan jaminan kesehatan, tapi mengapa pasien umum lebih didahulukan dibanding dengan pasien BPJS Kesehatan? apa lagi dengan pasien PBI yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah, pihak rumah sakit seakan-akan dengan sengaja meganaktirikan dan mempersulit mereka. Hal ini tentu melanggar UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana tertera dengan jelas bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Jadi, apa yang salah dengan diberlakukannya sistem rujukan ini? Sosialisasinyakah yang kurang kepada peserta dan provider? atau memang ini hanya akal-akalan dari pihak rumah sakit saja yang mempersulit pasien BPJS Kesehatan? Mungkin ini hanya sebutir masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan JKN yang telah berjalan hampir 1 tahun ini. Semoga dari sebutir kisah ini dapat menjadi kritik dalam pelaksanaan JKN agar kedepannya program ini dapat berjalan lebih baik demi tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia. Jangan hanya mengejar target universal coverage pada tahun 2019 saja tetapi pelaksanaannya juga harus diperbaiki agar memberikan pelayanan yang terbaik kepada peserta, sehingga mindset rakyat Indonesia yang tadinya ikut menjadi peserta JKN karena merupakan suatu kewajiban berubah menjadi suatu kebutuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun