Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat
Muhammad Hidayat Mohon Tunggu... -

Lebih kurang empat tahun terakhir hidup di Beijing, melihat dan merasakan kemajuan di negeri Tiongkok ini. Menjadi pelajaran sangat berharga. Banyak hal, yang di negeri sendiri, negeri tercinta, cuma menjadi perdebatan antar kusir, tak ada ujung, di Tiongkok sini sudah dibikin tanpa banyak cing cong. Mungkin bisa sedikit share buat yang lain. Siapa tau bermanfaat. Smoga.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Pidanakan Perdata (8)

29 Juli 2012   08:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB IV

ABUSE OF POWER PENEGAK HUKUM

“Saya tidak akan mengemis agar saya diberi pengampunan, tetapi saya akan memberi pencerahan kepada Anda tentang tugas hakim dan berusaha meyakinkan Anda akan tugas ini….”

(Socrates, 399 SM)

KALIMAT diatas diucapkan Socrates, seorang filsuf terkemuka Yunani Kuno, di depan persidangan yang mengadilinya. Tugas utama seorang hakim adalah untuk memberikan putusan (judgement), bukan menghadiahkan keadilan berdasarkan favour (baca: korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum (to judge according to law). Meski putusan mati yang dijatuhkan adalah tidak adil, tetapi Socrates berpendirian, itu adalah legal finding of the court dan harus ditaati, meski harus ditukar dengan nyawa sekalipun.1

Pada tahun 399 SM, Socrates (dalam usia 70 tahun), dihadapkan pada sidang Pengadilan Heliasts yang terdiri dari 501 warga Athena. Dalam pengadilan ini semua warga Athena yang hadir adalah hakim. Socrates dituduh melakukan dua kejahatan. Pertama, Socrates dituduh sengaja menolak menyembah dewa-dewa resmi Yunani. Kedua, Socrates dengan sengaja telah merusak pikiran anak muda dengan ajaran-ajaran filsafatnya.

(Catatan kaki 1 Lihat Charles Himawan; Etika Politik dan Ketaatan Hukum Socrates; dalam buku “Hukum Sebagai Panglima; Penerbit Kompas; 2006.)

Dari semula Socrates telah mengetahui ia tidak mempunyai peluang untuk keluar dari sidang pengadilan sebagai orang bebas, karena sebagian besar hakim adalah musuh-musuh Socrates. Melihat realitas itu, salah seorang muridnya, Crito, bermaksud menyuap para penjaga penjara agar Socrates bisa melarikan diri. Meski Socrates mengetahui bahwa tuduhan yang dikenakan pada dirinya adalah palsu dan hasil rekayasa, ia menganggap melarikan diri dari penjara adalah suatu kejahatan terhadap negara. Sang filsuf memilih menghadapi sidang pengadilan, meski ancaman hukuman mati telah menantinya.

Dan, pada akhirnya, Pengadilan Heliasts menjatuhkan vonis mati, dengan cara meminum racun, terhadap Socrates. Sesaat sebelum menjalani hukuman mati itu, Socrates berkata kepada dua orang sahabatnya, Simmias dan Cebes: “…orang harus tabah ketika menghadapi kematian, dan patut mempunyai harapan baik, bahwa setelah meninggalkan dunia ini, ia akan memperoleh kebaikan terbesar di dunia lain…”

Pengadilan yang akan dihadapi Hotasi Nababan, mungkin, tidak setragis yang dihadapi Socrates. Persidangan yang dihadapinya juga bukan Pengadilan Heliasts, melainkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tapi, ada kesamaan antara perkara Socrates dan Hotasi: tuduhan yang dihadapi merupakan hasil rekayasa. Dalam hal Hotasi, tuduhan atau sangkaan yang menjeratnya merupakan rekayasa aparat kejaksaan. Dan meski tahu perkara yang menjeratnya merupakan hasil rekayasa, Hotasi Nababan—sebagaimana juga Socrates—tetap tegar menghadapi sidang pengadilan. Ia, seperti juga Socrates, mentaati hukum apapun risiko yang harus dihadapi.

Hotasi merupakan korban penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) aparat penegak hukum. Ia terjerat perkara tindak pidana korupsi, berkaitan sewa pesawat Merpati beberapa tahun lalu. Hotasi ditetapkan sebagai tersangka penyidik Kejaksaan Agung, 16 Agustus 2011. Hanya sehari menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Ia dituduh telah melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 (sebagaimana sudah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).

Ketentuan pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyatakan tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara……”

Penjelasan umum UU PTPK menyatakan bahwa agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil maupun materiel. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.

Sebagaimana diketahui, delik formil adalah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Delik formil tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misalnya, pencurian (pasal 362 KUHP), penghasutan (pasal 160 KUHP), perbuatan di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP), penyuapan (pasal 209, 210 KUHP), sumpah palsu (pasal 242 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP).

Sedangkan delik materiel adalah rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misalnya, tentang penganiayaan (pasal 35 KUHP), pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Dalam beberapa hal, batas antara delik formil dan materiel tidak terlalu jelas, misalnya tentang pencurian (pasal 362 KUHP), dan tentang larangan melakukan bigami atau poligami (pasal 279 KUHP).

Peluang Abuse of Power

Ketidakjelasan itu pula yang terjadi dengan rumusan pasal 2 ayat (1) UU PTPK, serta penjelasan pasal tersebut. Ketidakjelasan tersebut yang mengundang penafsiran yang luas (multi-tafsir) dari kalangan aparat penegak hukum, yang pada gilirannya cenderung memberi peluang abuse of power.

Abuse of power aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan, terutama disebabkan kewenangan dan kekuasaan yang besar dalam menentukan status perkara. Hasil penelitian Juniver Girsang, dalam disertasi doktor ilmu hukum di Universitas Padjajaran Bandung, memperlihatkan bahwa di dalam praktik peradilan pidana korupsi, putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006,yang telah menghapus ajaran sifat melawan hukum materiel, ternyata tidak ditaati oleh aparat penegak hukum, termasuk hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusannya.2

Putusan Mahkamah Konstitusi itu berawal dari gugatan yang dilayangkan Ir. Dawud Djatmiko, yang tersangkut perkara dugaan korupsi pembangunan jalan Jakarta Outer Ring Road (JORR). Dawud yang merasa dirugikan karena sangkaan korupsi, mengajukan judicial review (permohonan pengujian) terhadap pasal 2 ayat (1) UU PTPK.

Setelah bersidang, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan judicial review tersebut. Dalam putusannya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa pasal 2 ayat (1)

(catatn kaki 2 Dr. Juniver Girsang, SH, MH; Abuse Of Power, J Press, 2012G)

Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 20 Tahun 2001, telah memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalan arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat bagian pertama itu berbunyi “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Menurut pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi, penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian itu, telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi suatu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

Berkaitan dengan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Konstitusi dalam putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktek pembentukan perundang-undangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.

Dengan berbagai pertimbangan itu, Majelis Hakim Konstitusi memutuskan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama itu merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan pasal 2 (ayat 1) UU PTPK sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945, sekaligus tidak mempunyai hukum mengikat.

Tentu saja, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan mudah distigmatisasi sebagaipendukung aliran legalistik, yang oleh beberapa pakar hukum disebutkan bahwa aliran legalistik ini telah dinyatakan ketinggalan jaman atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Namun, dengan iklim yang memprihatinkan dari penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia yang memperlihatkan maraknya mafia hukum dan praktik penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) dari aparat penegak hukum, aliran legalistik nampaknya masih diperlukan, demi tercapainya kepastian hukum. Apalagi, asas legalistik merupakan landasan hukum fundamental dari hukum pidana di Indonesia, sebagaimana dianut pasal 1 ayat (1) KUHP: “Suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan hukum perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Jadi, jelaslah putusan Mahkamah Konstitusi lebih memperlihatkan adanya jaminan kepastian hukum yang adil. Pantas dicatat, pada hakekatnya hukum itu diadakan harus dapat menjamin kepastian hukum dan menciptakan keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi itu yang menghendaki bahwa hubungan kata “dapat” dengan merugikan “keuangan negara” memunculkan dua pandangan ekstrim: yaitu, pandangan yang nyata-nyata merugikan keuangan negara; dan pandangan yang mengatakan masih kemungkinan dapat menimbulkan kerugian negara. Karenanya, unsur “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara itu harus dapat dibuktikan dan dihitung terlebih dahulu. Sehingga, Mahkamah Konstitusi menghendaki adanya kerugian keuangan negara harus ditempatkan sebagai delik formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi.

Dalam pandangan Mahkamah Konstitusi frasa “dapat merugikan keuangan negara” yang menjadi akibat dari suatu perbuatan tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Kendati demikian, apabila kerugian negara itu tidak dapat dibuktikan secara akurat dalam hal jumlah kerugiannya, maka dipandang cukup untuk menuntut atau memidana pelaku sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti.

Bila dilihat secara objektif rasional, khususnya dalam praktik penegakan hukum perkara korupsi, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu merupakan salah satu solusi adanya jaminan kepastian hukum yang diberikan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Tapi, seperti dijelaskan diatas, putusan Mahkamah Konstitusi ini ternyata tidak ditaati dan dijalankan sebagian kalangan aparat penegak hukum, termasuk aparat kejaksaan dan peradilan. Hal itu memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap penegakan tindak pidana korupsi, yaitu terjadinya ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Adanya ruang penafsiran (yang subyektif sifatnya) sebagai implementasi dari ajaran sifat melawan hukum materil, merupakan celah yang dapat dimanfaatkan aparat penegak hukum sesuai kepentingannya dalam menangani tindak pidana korupsi.

Oleh sebab itu, menurut Juniver Girsang, perlu dibuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang secara tegas menyatakan diberlakukannya sifat melawan hukum formil, dan membuat secara jelas dan rinci unsur-unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.3

(catatan kaki 3 ibid)

Motif Abuse of Power

Akibat penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang telah dilakukan oknum aparat hukum, termasuk oknum jaksa, telah membuat citra institusi hukum tercemar. Dalam beberapa kasus, bahkan memicu amarah rakyat yang merasa teraniaya. Bila martabat hukum telah direndahkan oleh aparatnya sendiri, maka rakyat akan mengambil jalannya sendiri. Ini peringatan bagi kalangan penegak hukum, terutama kalangan kejaksaan, yang telah bertindak menyelewengkan wewenang dan kuasanya secara semena-mena.

Motif abuse of power yang dilakukan oknum aparat kejaksaan terutama berkaitan dengan dua hal: kepentingan pribadi dan intervensi atau dipengaruhi pemegang kekuasaan. Dalam kaitan motif pertama, yaitu motif kepentingan pribadi oknum kejaksaan ada bermacam-macam, tapi kebanyakan berkaitan dengan mencari keuntungan ekonomi ataupun peningkatan karir/jabatan. Kini, seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,hukum—terutama yang berkaitan dengan perkara-perkara korupsi, telah menjadi komoditas —untuk mencari keuntungan materi dan memperkaya diri sendiri bagi aparat penergak hukum. Fenomena dan tren inilah yang bahwa “hukum telah menjadi semacam komoditi yang diperdagangkan”. 4

(Catatan kaki 4 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH; Sekitar Hukum yang Diperdagangkan; dalam buku “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia; Penerbit Kompas; 2009)

Sedangkan mengenai abuse of power yang berkaitan dengan pengaruh kekuasaan, T. Mulya Lubis pernah mengatakan bahwa fungsi kejaksaan telah berubah: dari lembaga penegak hukum yang terutama mewakili kepentingan hukum publik menjadi lembaga penegakan hukum yang mewakili kepentingan negara (elit kekuasaan). “Secara formal kita tahu bahwa kejaksaan itu bagian dari pemerintah, tetapi sebagai lembaga penegak hukum seharusnya kiblat kejaksaan itu adalah kepentingan publik: public sense of justice,” tegas Mulya Lubis.5

Hal ini, menurut Mulya Lubis, terutama disebabkan kuatnya budaya militerisme dalam tubuh kejaksaan. Berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, misalnya, dalam hal “rentut” (rencana penuntutan) semuanya tergantung kepada atasan. Tak heran, bila kita jarang melihat kaderisasi yang berhasil di tubuh kejaksaan, karena sejak dini sudah dilatih tunduk pada atasan. Padahal seorang jaksa yang baik adalah jaksa yang mampu bertindak dan memutuskan sesuatu dalam iklim kerja yang otonom, bebas, dan independen.6

(Catatn kaki 6 ibid)

Abuse of power yang dilakukan para oknum jaksa, apapun motifnya, jelas telah mencemarkan citra Korps Adhyaksa, serta melanggar doktrin Trikrama Adhyaksa: Satya Adi Wicakasana. Satya bermakna kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia.Adi bermakna kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama, bertanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia. Wicaksana bermakna bijaksana dalam tutur-kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.7

(catatan kaki 7 Dikutip dari www.kejaksaan @ co.id)

Ulah oknum jaksa juga telah menyimpang jauh dari visi korps Adhyaksa yang berbunyi: “Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara profesional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai – nilai kepautan.”

Teladan dari Lopa

Di kalangan kejaksaan sendiri, sebenarnya juga pernah ada figur-figur yang pantas menjadi teladan dalam menegakkan doktrin dan misi Korps Adhyaksa tersebut. Salah seorang diantaranya adalah (almarhum) Baharuddin Lopa, yang telah menjadi legenda dalam dunia penegakan hukum di negeri ini. Lopa dikenal sebagai jaksa yang tak kenal kompromi dalam menegakkan hukum. Salah satu kisah klasik tentang sepak terjangnya adalah saat ia menyidik dan memenjarakan Tony Gozal, pengusaha kaya dan salah satu “orang kuat” di Sulawesi Selatan di era 1980-an.

Saat itu, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982-1986), menjebloskan Tony Gozal dalam kasus penyelewengan tanah milik pemerintah daerah. Tekanan dari segala penjuru agar berhenti menyidik Tony, tak digubris Lopa. Suatu kali, ditengah gencar-gencarnya memeriksa Tony, Presiden Soeharto bersama Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bertemu di Makassar. Tempatnya tak lain di Hotel Makassar Golden, hotel termewah di Sulawesi Selatan milik Tony. Lopa ikut menjemput Soeharto dan Lee di Bandara Hasanuddin. Tapi ia menolak mengantar sampai ke hotel dan tak mau datang ke jamuan makan malam yang dihadiri semua pejabat Sulawesi. “Tidak baik saya ke situ. Apa kata orang kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik,” kata Lopa. Tony kemudian divonis bersalah dan meringkuk di Penjara Gunungsari. Gara-gara perkara ini, Lopa terpental dari jabatannya.8

(catatan kaki 8 Lihat “Cermin Lopa Buat Pejabat Republik; Tempo, edisi 19/XXX/09-15 Juli 2001 )

Pertengahan 2001, Presiden Abdurahman Wahid mengangkat Lopa sebagai Jaksa Agung. Ia pun segera melakukan gebrakan, terutama menyidik berbagai perkara korupsi yang sempat di peti-es kan kejaksaan. Tapi, sayang, baru beberapa bulan menduduki jabatan Jaksa Agung, “pendekar hukum” ini wafat. Kematiannya diratapi banyak orang. Bendera-bendera diturunkan setengah tiang. Skala liputan media tentangnya hanya bisa ditandingi peristiwa meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Gus Dur. Itu menandakan bahwa rakyat sebenarnya merindukan dan mencintai aparat penegak hukum yang benar-benar menjalankan tugas mulianya.

Lunturnya Moralitas Penegak Hukum

Tapi, apa yang terjadi sekarang, segelintir aparat penegak hukum, termasuk di kejaksaan, telah menyeleweng jauh dari doktrin Adhyaksa serta teladan dari para senior mereka. Kronisnya penyakit di tubuh Korps Adhyaksa disinyalir dari sebuah audit yang pernah dilakukan terhadap institusi kejaksaan, yang dilakukan sebuah lembaga independen, beberapa tahun lalu. Hasil audit yang dilakukan selama enam bulan itu menyimpulkan, institusi kejaksaan tidak siap atau ill equipped untuk memikul tugas berat dalam tantangan demokrasi menuju Indonesia Baru. Kejaksaan secara meluas dianggap lembaga yang tak memiliki integritas, profesionalitas, dan efesiensi.Hasil kerja kejaksaan sejak konsolidasi zaman Orde Baru, dianggap gagal. Padahal di negara lain lembaga kejaksaan dikenal amat signifikan perannya, dan karenanya didukung masyarakat serta komunitas hukum. Karena dalam tatanan law enforcement, kejaksaan lah lembaga yang memimpin penegakan hukum dan keadilan di negeri ini.9

(Catatan kaki 9 T. Mulya Lubis, opcit)

Di samping itu, perkembangan hukum positif sendiri juga semakin pesat. Sehingga, jangankan orang awam, para ahli hukum sendiri pun tidak mudah mengetahui dan menguasai sekalian bidang dan peraturan hukum yang telah dikeluarkan. Maka, saat ini masyarakat dan para konsumen hukum berada pada kedudukan yang sangat lemah dan rentan. Di sisi lain, para pemangku profesi hukum juga memiliki resiko besar untuk terjerumus ke dalam praktik-praktik manipulasi kepentingan. 10

(Catatan kaki 10 Satjipto Rahardjo, opcit)

Lebih lanjut, menurut Satjipto, lunturnya idealisme para penegak hukum di Indonesia akan memiliki dampak sosial yang besar bagi cita-cita keadilan hukum di negeri ini. Memang lunturnya idealisme penegak hukum di negeri ini tidak bisa disalahkan mengingat budaya hukum di negeri ini semakin menuju pada arus komersialisasi. Hukum seolah menjadi komoditi yang diperjual-belikan.

Sementara itu, kejahatan makin lama makin canggih dan makin sulit dideteksi. Ini tidak diimbangi dengan peningkatan sikap profesionalisme aparat kejaksaan. Dulu, korupsi itu masih bersifat personal. Kemudian menjadi struktural, kultural, dan sekarang menjadi sistemik. Tapi, kata Satjipto, untuk mengatasinya, tidak diimbangi dengan visi, konsep, dan program kerja yang canggih. Akibatnya, muncul kesan bahwa Kejaksaan Agung lamban menangani.11

(Catatan kaki 11 Satjipto Rahardjo, opcit)

Sampai kini, kata Satjipto lagi, semua penegak hukum (polisi, hakim, dan jaksa) belum pernah menyamakan visi dan tindakan untuk menghadapi korupsi. Aparat hukum Kejaksaan Agung yang diharapkan menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia. Tetapi, sayang citranya tercemar oleh ulah sejumlah jaksa . yang korup harus segera ditindak. Lalu, dipikirkan bagaimana tindakan pencegahannya melalui pengawasan, di antaranya dengan penerapan sistem kontrol terpadu. Misalnya, kejaksaan agung atau kepolisian diwajibkan memberikan laporan kepada publik, atau memiliki akses untuk mengontrol kinerja mereka. Jadi, masyarakat harus dilibatkan.

Singkat kata, reformasi penegakan hukum tersendat, karena hampir 35 tahun soal penegakan hukum telantar. Institusi hukum seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan advokat lemah. Reformasi hukum dan penegakan hukum baru akan jalan jika ada institusi hukum yang solid dan kuat. Reformasi penegakan hukum masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (dis regardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan lambannya proses reformasi penegakan hukum antara lain: sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial, belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial, inkonsistensi dalam penegakan hukum, masih adanya intervensi terhadap hukum, lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum, belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum.

(Gambar : Jasman Panjaitan, mantan Direktur Penyidikan Jampidsus yang menetapkan Hotasi Nababan sebagai tersangka dengan surat No. Print 104/F2/Fd. 1/08/2011, tanggal 16 Agustus 2011.)

Survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dipublikasi Januari 2012 lalu, menunjukkan proporsi publik yang menilai kondisi penegakan hukum di Indonesia buruk atau sangat buruk jauh lebih besar ketimbang penilaian sebaliknya. Hampir sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2011), baru pada Desember 2011, saat survei dilakukan, lebih banyak rakyat yang menilai kondisi penegakan hukum secara umum “buruk”. Pada tahun-tahun sebelumnya penilaian seperti ini tidak pernah terjadi. Temuan ini menunjukkan terjadinya penurunan penilaian positif terhadap pemerintah.12

(Catatan kaki 12 Tempo.co, 10 Januari 2012)

Berdasarkan survei yang melibatkan 1.220 responden, penilaian bahwa penegakan hukum di negeri ini baik dan sangat baik hanya tercapai sekitar 33 persen, sementara yang menilai buruk dan sangat buruk mencapai sekitar 43 persen. Tren persepsi atas kondisi penegakan hukum secara nasional saat ini menjadi rendah karena dipicu oleh berbagai hal, seperti lemahnya penegakan hukum terkait kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti.

Data Governance Indicator World Bank 2011, dalam sepuluh tahun terakhir, juga menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti, dan masih tetap negatif. Korupsi tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin merosot.13

(Catatan kaki 13 ibid)

Situasi dan kondisi hukum seperti digambarkan di atas itulah yang kemudian menyuburkan apa yang disebut sebagai “mafia peradilan”. Banyak pihak menilai sangat sulit menghilangkan “mafia peradilan” di sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Ini mengingat tingkat ketaatan aparat penegak hukum terhadap kode etik serta standar moral, masih sangat tipis. Akibatnya, melunturnya kewibawaan hukum dan badan peradilan di mata publik.

Bisa jadi, itulah sebabnya belakangan ini sempat muncul gagasan untuk memidanakan putusan hakim yang salah memutus suatu perkara. Tapi, gagasan ini segera ditentang kalangan hakim dan akademisi.14 Pasalnya, jika gagasan memidanakan putusan hakim itu terlaksana, maka akan mengancam kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pemidanaan putusan hakim akan mematikan kreativitas hakim, dan nantinya tidak akan pernah menemukan hakim progresif.

(Catatan kaki 14 Lihat Harifin A. Tumpa, “Upaya Meruntuhkan Kekuasaan Kehakiman?”, Kompas, 26 April 2012, dan Romli Atmasasmita; “Menghukum Putusan Pengadilan”, Kompas, 3 Mei 2012.)

Seperti dikatakan Harifin H. Tumpa, mantan Ketua Mahkamah Agung, “Saya setuju hakim bahwa harus profesional. Saya juga setuju hakim yang ‘nakal’ dan memperjualbelikan perkara harus ditindak dengan hukum yang seberat-beratnya, tetapi tidak berdasarkan putusannya… Putusan hakim harus menegakkan hukum dan keadilan, bukan hukum atau undang-undang semata, karena hakim bukanlah corong undang-undang (de la bouche de la loi). Hakim dapat menemukan hukum (rechtsvinding) atau menciptakan hukum (rechtsschepping).”15

(catatan kaki 15 Harifin A. Tumpa, ibid)

Solusi untuk Kewibawaan Penegak Hukum

Sebagai rakyat negeri ini, kita tentu mengharapkan penegak hukum yang bisa bersikap profesional dan independen, serta mengambil keputusan yang memenuhi rasa keadilan. Itu semua demi martabat penegak hukum yang berwibawa. Berkaitan dengan itu, ada beberapa solusi yang dibutuhkan: Penyempurnaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama yang berkaitan dengan pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi negara, UUD 1945. Misalnya, pasal 2 ayat (1) UU PTPK serta penjelasannya, yang telah dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945.

• Peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, sehingga mampu bersikap independen dan bersih. Hal ini akan berdampak bagi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.

• Perbaikan kesejahteraan aparat penegak hukum, terutama kalangan hakim. Sebab, bagaimanapun, hakim adalah gerbang terakhir bagi masyarakat yang mencari keadilan. Dengan hakim yang kesejahteraan cukup, diharapkan dunia peradilan Indonesia bisa menjadi lebih baik dan bersih.

• Selain itu, diperlukan juga keteladanan dari tokoh-tokoh penegak hukum yang bersih dan berani dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sosok seperti Baharudin Lopa merupakan salah satu yang pantas diteladani para penegak hukum di negeri ini.

(gambar:Bersama salah satu tokoh kepemimpinan yang dikaguminya, Steven Covey, Oktober 2003)

MENJADI PESAKITAN DI KEJAKSAAN

oleh Hotasi Nababan

PADA 7 Mei 2011 siang, bertepatan dengan ulang tahun saya ke 46, terjadi kecelakaan pesawat MA-60 di Kaimana, Papua. Suasana duka menyelimuti Merpati dan masyarakat. Saya segera menelpon Sardjono Jhony Setiawan, Direktur Utama Merpati, untuk menyampaikan simpati dan duka mendalam. Setiap kecelakaan pesawat yang membawa korban akan menjadi mimpi buruk seumur hidup bagi Dirut atau CEO maskapai penerbangan (airlines) dimanapun.

Selanjutnya, pemberitaan berkembang ke mana-mana. Bumbu politik pun ikut bercampur. Masyarakat menuntut dilakukannya penyelidikan. Kejaksaaan mulai memanggil pimpinan Merpati. Saat pemeriksaan MA-60 inilah, kejaksaan memanggil saya dan beberapa mantan direksi Merpati lainnya. Tapi bukan berkaitan dengan kecelakaan pesawat di Kaimana, melainkan untuk kasus sewa pesawat yang terjadi lima tahun sebelumnya .

Saat memenuhi panggilan pemeriksaan pertama, akhir Juni 2011, kami datang tanpa pernah berpikir kasus ini akan diteruskan. Tanpa didampingi penasihat hukum, saya, Guntur Aradea (mantan Direktur Keuangan), Harry Pardjaman (mantan Direktur Operasi), Tony Sudjiarto (mantan GM Aircraft Procurement), dan Fardinan Kenedy (Biro Hukum Merpati) menganggap bahwa pemanggilan ini hanya untuk melengkapi data yang sudah pernah diberikan kepada Kejaksaan dan Bareskrim Mabes Polri. Suasana pemeriksan santai dan berlangsung secara paralel selama dua jam. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk “pertanyaan administratif”.

Kemudian kami dipanggil lagi tanggal 4 Juli 2011. Kali ini, suasana pemeriksaan mulai serius. Tim pemeriksa mulai bertanya tentang kewenanangan masing-masing orang, dan proses pengambilan keputusan penempatan deposit. Setelah selesai pemeriksaan, kami mulai bertanya kepada tim penyidik di bagian Pidana Khusus itu tentang hasil penyelidikan Kejaksaan Agung di tahun 2007 (oleh penyidik Jaksa Agung Muda Intelijen/JAM Intelijen) dan tahun 2008 (oleh penyidik Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara/JAM Datun). Tim penyidik menjawab bahwa penyidikan ini tidak ada sangkut pautnya dari penyelidikan terdahulu.

Kemudian, kami sampaikan salinan surat dari Bareskrim dan KPK tentang tidak ditemukannya unsur pidana. Begitu menerima salinan surat itu, jaksa penyidik segera memasukkan ke dalam map tanpa membuka dan membacanya. Mereka menegaskan bahwa setiap instansi punya kewenangan melakukan penyelidikan sendiri. Di saat itulah kami mencium adanya desakan atas kasus ini. Benar saja, tanpa pemberitahuan, status pemeriksaan ditingkatkan menjadi “penyidikan” pada 7 Juli 2011.

Saat saya tengah berkumpul dengan keluarga besar di sore hari libur, tanggal 17 Agustus, datanglah banyak sms dari wartawan yang memberitahu berita penetapan saya sebagai “tersangka” kasus sewa pesawat Merpati. Berita itu, bagi saya, seperti geledek besar. Banyak kawan dan keluarga mengirim sms, email, dan twitter mempertanyakan penetapan tersangka ini. Tentu saja saya sangat kaget dan kecewa. Tidak pernah saya membayangkan dijadikan “tersangka korupsi”, sebuah perbuatan yang tidak pernah dan akan saya lakukan. Saat itu saya sulit berpikir jernih. Siapa dan benda apakah yang saya hadapi ini?

Beberapa minggu kemudian, 12 September 2011, saya dicekal oleh Dirjen Imigrasi atas permintaan JAM Intelijen Kejaksaan. Saya merasa dijadikan seseorang yang harus dimusuhi negara, karena dianggap bisa kabur ke luar negeri. Ini kesedihan saya kedua setelah penetapan sebagai tersangka korupsi. Sekarang saya tidak dapat mengunjungi mitra kerja yang ada di luar negeri, atau menghadiri konferensi. Semua rencana perjalanan dengan keluarga pun dibatalkan. Dahulu saat sebagai aktivis mahasiswa, “cekal” memberi makna kepahlawanan menghadapi rezim Suharto. Sekarang, “cekal” seperti menjadi borgol yang hina.

Mengapa saya menjadi pesakitan dari sebuah kasus yang “sumir”? Kami yang sesungguhnya korban penipuan pihak TALG, malah menjadi pesakitan. Ada perjanjian yang sah. TALG bukan fiktif. Pesawat yang akan disewa ada. Merpati memenuhi kewajibannya, TALG tidak. Kemudian Merpati minta pengembalian depositnya, TALG menolak. Akhirnya, pengadilan Washington DC memenangkan gugatan Merpati. TALG bangkrut, tapi pemiliknya tetap harus mengembalikan.

Mediasi dilakukan lagi di Washington DC. Mereka masih tidak menunjukkan itikad baik. Atas saran Jaksa Pengacara Negara dari JAM Datun, maka Merpati mulai menuntut pidana “penggelapan” supaya mereka lebih serius mengembalikan. Namun, di tahun 2010, Direksi Merpati menghentikan penuntutan pidana dan pengejaran uang. Pada titik inilah, potensi kerugian negara dapat terjadi.

Sepanjang pemeriksaan di Kejaksaan Agung, saya belajar dan mendengar banyak. Kejaksaan adalah lembaga negara yang punya tradisi kuat sejak zaman Belanda, yang namanya bahkan diambil dari zaman Majapahit. Menarik kutipan dari wikipedia:

….. W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa juga luar biasa, yaitu satya, adhi, dan wicaksana.

“Satya” berarti kesetiaan dari kejujuran.

“Adhi” adalah kesempurnaan bekerja.

“Wicaksana” berarti bijaksana dalam bertindak.

Dengan doktrin ini, Kejaksaan adalah aset terpenting bangsa ini untuk mewujudkan keadilan bagi semua.

Terhadap kasus saya ini, apakah para jaksa yang memeriksa saya sudah jujur terhadap fakta yang ada? Apakah jaksa penyidik sudah hati-hati menganalisa agar kesimpulannya tidak bercacat? Apakah sudah bijaksana dalam memperkarakan kami?

Yang menarik adalah mengamati bagaimana dinamika yang ada di antara anggota penyidik di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, karena mereka mengalami beberapa kali pergantian. Anggota yang diganti selalu mendapat jabatan struktural baru di daerah, atau promosi. Anggota yang mengganti selalu dari daerah, yang menunggu penugasan berikut sebagai jaksa fungsional di bagian pidana khusus. Sebagai jaksa fungsional, mereka diharapkan dapat konsentrasi dan independen dalam menyidik.

Tanpa menyebut nama, saya menyaksikan segelintir jaksa yang sangat ambisius untuk mengejar promosi akan begitu gencar memeriksa kami, bahkan kadang-kadang bukan bertanya lagi tapi sudah menyalahkan. Sebagian lagi yang masih baru lebih berhati-hati dalam bertanya, dan mau mendengarkan penjelasan serta membaca dokumen yang disampaikan. Kedua pendekatan itu, bisa jadi, dilakukan agar hasil penyidikan bisa dari kedua sisi.

Dalam tiga kali pemeriksaan saya sebagai tersangka, pertanyaan penyidik seperti tidak fokus. Hal ini terutama ditunjukkan dari perbuatan pidana yang disangkakan berubah-ubah. Awalnya, mereka menggali kemungkinan pelanggaran prosedur pengadaan. Kemudian bertanya tentang perijinan dari pemegang saham dan komisaris. Berikutnya, tentang surat kuasa penandatanganan perjanjian. Belakangan mereka konsentasi pada dua hal, yaitu: sejauh mana kami mengetahui adanya niat TALG untuk memindahkan deposit, dan pengikatan pesawat yang belum dikuasai. Semua hal itu telah dijawab dengan dokumen yang disiapkan dan keterangan para ahli hukum dan kalangan praktisi penerbangan.

Saat beristirahat, sebagian penyidik mengungkapkan bahwa dalam gelar perkara, suara tim penyidik masih belum bulat. Sebagian masih melihat belum cukup bukti adanya unsur pidana. Sementara sebagian besar mulai jenuh atas status kasus ini, dan menganggap lebih baik pengadilan lah yang memutuskan.

Saya juga mendengar bagaimana sistem pengukuran kinerja internal kejaksaan makin ketat. Setiap jaksa punya KPI (key performance indicator), seperti layaknya sebuah perusahaan. Jumlah kasus korupsi menjadi target dari tingkat bawah di Kejaksaan Negeri hingga Kejaksaan Agung. Selain kuantitas, tim jaksa yang dapat menuntaskan kasus korupsi yang pembuktiannya sulit akan mendapat kredit. Demikian juga Kejaksaan punya target pengembalian kerugian negara. Tersangka korupsi dijanjikan keringanan hukuman jika bersedia membayar kerugian negara itu ke kas negara. Namun, dalam banyak kasus, hal ini tidak terjadi. Walaupun membayar jumlah yang dituduhkan, para tersangka tetap dihukum.

Jika Kejaksaan berorientasi pada jumlah kasus korupsi, pemaksaan unsur pidana, dan pengejaran uang negara yang berujung pada pencitraan, di manakah doktrin Tri Karma Adhyaksa berada? Apakah kejaksaan bisa jujur, seksama, dan bijaksana?

(gambar: Memberikan souvenir Merpati kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di penerbangan VVIP dari Aceh ke Jakarta, Februari 2005.)

(gambar:Menyalami Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum penerbangan VVIP Merpati, 2004.)

(gambar: Mendampingi Menteri Perhubungan Hatta Rajasa dalam penerbangan perdana Merpati ke Merauke, 2005.)

(gambar: Kunjungan kerja Menteri Perhubungan Jusman Jusman Safeii Djamal ke Merpati Maintenance Facilit, 8 Agustus 2007.)

BAB V

KASUS MERPATI DALAM BERITA

... (bersambung)...

SALAM KEADILAN!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun