Perasaan saya masih mendayu-dayu selepas balik dari pengungsian di Tanjung, Lombok Timur. Saya melihat mereka ada yang kelihatan sehat tapi trauma masih ada di wajahnya. Ada juga yang benar-benar sakit. Bahkan nanti malamnya saya baru tahu, ternyata ada warga yang sudah sampai muntah-muntah cacing. Ngerih sekaligus simpati. Ternyata itu karena selama ini dia makan sembarangan dan gak higienis. Berita saya soal para dokter ini juga dipuji para dokter. Senang rasanya.Â
Dari Tanjung kami bergerak ke Mataram kembali. Ada janji lagi bertemu orang pemerintahan. Saya sebenarnya sudah lelah, sampai kami berhenti sebentar di warung pinggir jalan di area Bukit Malimbu. Sore itu, saya lagi-lagi terpisah dengan rombongan. Mereka kayaknya melipir ke pantai sementara saya, seorang teman dan bapak pendamping malah ngemper di warung menikmati es kelapa.Â
Suasana tampak sepi kala itu, beberapa orang mulai setia menunggu senja. Hmm... saya menghela napas namun di saat itu juga saya kebelet pipis. Emang PR banget dah nih kaga ada toilet pula. Karena sudah sangat di ujung, akhirnya saya memberanikan diri untuk meminjam toilet tukang es kelapa. Saya pikir bakal ditolak. Ternyata, mereka mau mengantar saya ke toilet rumah mereka.Â
Tapi saya kaget, ternyata ke rumahnya harus naik motor. Duh, semoga ga keburu pipis di celana ini mah. Makanya kami langsung ngebut ke rumahnya yang ternyata sekitar 500 meter dari tempat dia dagang. Tanpa perhatikan sekitar, saya langsung minta ditunjukan dimana toilet. Langsung ngibrit ternyata di dalam hanya berupa peluran saja. Tak ada WC yang memadai.Â
Saya yang sudah buang hajat, selepas lega baru berasa aneh. Saya tanya dimana rumahnya? Dia lalu menunjuk ke arah puing-puing tembok dan kayu. Jleb! langsung syok! Saya pandangi dia lekat-lekat mencari sisa kesedihan. Tapi dia malah tersenyum dan itu bikin hati saya meleleh saat itu juga. Saya beranikan diri bertanya, ternyata benar dia juga  korban gempa. Katanya saat itu keluarganya sedang berkumpul nonton TV ramai-ramai lalu gempa datang mereka keluar dan rumahpun roboh seroboh robohnya. Jadi dia sekarang tinggal di pengungsian.Â
Sembari menunggu bantuan dibuat bedeng di dekat rumahnya yang didirikan dan potongan kayu yang tampak asal-asalan. Kami pun kembali ke tempat semula dan cerita dari mulutnya mengalir lancar. Soal banyaknya pencuri di pengungsian, panas tanpa listrik. Tapi saya sungguh tak mengerti lagi ketabahan jenis apa yang dibawa orang-orang lombok. Dia tetap bersyukur karena berkat bencana ini keluarga besarnya yang dulu sering konflik menjadi damai dan itu membahagiakan baginya.
Saya spechless gak tau lagi musti bicara apa. Cerita pun semakin menarik saat saya berbincang sembari menatap laut biru di Bukit Malimbu. Dia pun melirik tertarik dengan dua orang bule yang juga sama dengan kami memandangi laut yang birunya begitu menggoda. Saya tahu dia mau betegur sapa. "Kenapa? mau foto? mau kenalan? yuk!" maka saya bawa dia di hadapan para bule itu. Sembari basa basi busuk hahah saya cuma tanya bagaimana mereka masih berani ke Lombok yang lagi diguncang gempa berkali-kali termasuk tadi pagi.Â
Selepas bercerita banyak, saya pun akhirnya bertemu kembali dengan teman-teman saya yang sebagian besar laki-laki itu. Kami bersama-sama menunggu golden sunset di Senggigi. Dan primadonanya pun muncul dengan tegas dan jelas. Setelah puas motret di Bukit Malimbu. Saya digerek temen-temen yang buru-buru masukin saya ke mobil mereka buat ke villa hantu. Sayang kami terlambat, sudah keburu menghitam sendu langitnya.Â
Malamnya, selepas mandi dan beres semua sambil tetap pegangin laptop saya pun bertemu dengannya. Kami ngopi di tempat andalan dia yang juga sebenarnya ada di jakarta. Cuma karena saya juga ke sini dinas bukan main jadilah saya cuma taktik  aja ngetik berita, dengan dia yang setia mendampingi dan izin mama dulu kalau lagi culik saya ke kedai kopi.Â