Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cemburu] - Matahari dan November yang Basah

4 November 2018   12:42 Diperbarui: 4 November 2018   13:05 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: m.liputan6.com

Sudah tiga hari lalu matahari tidak menampakkan batang hidungnya. Bahkan kedip matanya saja tidak kulihat. Banyak yang berkata matahari sedang sakit. Aku tidak percaya. Memangnya matahari bisa sakit?

Namun, hari ini awan mengunjungiku. Ia bercerita bahwa sudah tiga hari matahari mogok makan. Ia bahkan mogok bicara pada siapapun yang mengunjunginya. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Barang siapa yang memaksa mendobrak, akan langsung terbakar di tempat.

Fakta itu membuat semua legenda matahari yang pernah kubaca, tertelan habis. Matahari tidak seperti itu. Matahari adalah makhluk kuat dan bersahabat. Ia tidak pernah menolak siapapun yang ingin berbincang dengannya. Rumahnya bahkan selalu menjadi tempat bertukar cerita.

"Itu bukan matahari."

Awan menggeleng. "Itu memang bukan matahari yang kita kenal. Tapi, itu benar-benar matahari."

Aku berlari ke luar rumah dan menatap langit. Kuharap matahari hanya sedang bersembunyi, untuk kemudian muncul lagi. Tetapi, satu jam berselang, tidak juga kutemukan tanda-tanda kehadirannya. Langit tetap mendung seperti biasa. Abu-abu dan kelam.

"Ranum, jangan mengunjunginya."

Terlambat. Aku sudah berlari jauh dari awan. Menuju rumah matahari yang pernah kukunjungi dua tahun lalu.

Saat itu aku tengah menangis. Salah seorang teman mengejekku karena seragamku tampak kusam. Memang, itulah satu-satunya seragam sekolah yang kupunya. Uang ibu tak pernah cukup untuk membelikan seragam baru. Kebutuhan memenuhi perut tampak lebih penting, terutama untuk adik-adikku yang masih kecil.

Aku terduduk di pinggir jalan sambil menangis sesenggukan. Saat itulah matahari datang. Ia mengajakku ke rumahnya. Di tempat itulah aku menumpahkan semua kekesalan dan umpatan yang tertahan di kerongkongan.

"Ibu tidak menyayangiku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun