Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Sang Kiai dan Kritik sejarah

4 Juni 2013   11:48 Diperbarui: 23 Oktober 2017   22:08 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pemeran Film

Film Sang Kiai sudah banyak dibahas. 

Film yang berbiaya produksi sebesar 10 milyar ini sudah mulai tayang sejak 30 mei 2013 dan sedang ramai ditonton. Kabarnya dalam jangka waktu sekitar seminggu ini, film Sang Kiai paling banyak ditonton bersama film Cinta Brontosaurus di bioskop-bioskop Indonesia. 

Film Sang Kiai adalah kisah ulama besar yang menggelorakan perjuangan masyakarat santri/pesantren untuk melawan kekuasaan kolonial. Sang Kiai sendiri, yakni K.H Hasyim Asyari, merupakan simpul yang mengikat jejaring ulama dan pondok pesantren di Tanah Jawa dan Madura. 

Pengaruhnya begitu luas yang diakui dengan menyebut beliau sebagai Hadratussyaikh atau Guru Akbar-nya orang-orang NU. Sayang sekali, sangat sedikit buku yang membahas sosok beliau. Cucu beliau, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur jauh lebih terkenal. Kembali pada Sang Kiai, intisari film ini bisa kita kerucutkan dalam satu tema inti : hubungan Islam, Nasionalisme dan kewajiban memperjuangkan kemerdekan. 

Dalam konteks yang spesifik, film ini bertutur jikalau masyarakat Pesantren, jejaring Kiai, dan Nahdlatul Ulama merupakan poros penting yang menggelorakan perjuangan melawan penjajah. Hal ini terlihat dalam dialog antara K.H Wahid Hasyim dan Hadratussyaikh sebelum keluarnya Resolusi Jihad yang menjadi dasar etis-teologis Peristiwa 10 November 1945 itu. 

Peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai hari Pahlawan. Saya mau coba melihat film ini dalam hubungannya dengan 'menulis kembali sejarah dalam konteks budaya pop' di Indonesia. Kita tahu film-film Indonesia pernah sangat dikuasai oleh jenis film yang beraroma hantu dan cinta yang klise. Kisah Hantu-hantu itu berputar-putar pada tema yang tidak mendidik masyarakat penonton selain hanya mencari keuntungan (pemenuhan aspek komersil). 

Sama halnya dengan film percintaan yang tampaknya belum mampu menggeser pesona film Ada Apa Dengan Cinta. Dengan kata lain, persemaian budaya pop dalam wujud industry film ‘hanyalah mendompleng selera massa’ demi kepentingan ekonomi industry film saja. Dalam 'kitab sejarah resmi' yang kita baca sejak sekolah dasar peristiwa 10 November 1945 hanya menceritakan kisah patriotisme arek-arek Suroboyo. 

Narasi sejarah resmi ini tak melihat (atau sengaja menghilangkan ?) peran masyarakat Santri dan ulama yang seolah cukup diwakili dengan menyebut arek-arek Suroboyo yang secara kata terlalu umum itu. Selain itu, kontribusi Resolusi Jihad sendiri sangat jarang-kalau bukan malah tidak ada-disebut-sebut dalam tuturan narasi resmi ini. Sehingga, akibatnya adalah, tidak cukup ruang yang adil dan jujur dalam membahas peran pesantren dan ulama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Hal lain yang bisa kita lihat dari film ini adalah apa yang disebut sebagai sejarah massa atau sejarah orang-orang kecil dalam peristiwa 10 November 1945. Sosok Bung Tomo atau Harun dan teman-temannya mewakili orang-orang kecil yang mewujudkan kewajiban fardhu a'in (kewajiban yang melekat pada setiap perseorangan) dari Resolusi Jihad itu. Tanpa keberanian dan pengorbanan jiwa mereka, Resolusi Jihad mungkin hanyalah teks bisu di hadapan kaki penjajah. Sehingga, menurut saya, si sutradara film Sang Kiai, Rako Prijanto, cukup berhasil dalam menggunakan medium film untuk 'menulis kembali sejarah'. 

Kita tahu film ini didahului oleh riset dan Rako beserta kru berhasil menerjemahkan hasil riset itu dalam alur cerita dan lakon tokoh yang sukses diperankan para aktor. Menulis kembali sejarah melalui film ini juga bisa kita fahami sebagai satu cara mengkritik narasi sejarah yang dominan atau narasi arus utama. 

Yakni sejarah yang ditulis oleh kepentingan tertentu dan biasanya ditulis demi kebutuhan sang pemenang. Ini diakui Rako sendiri ketika sehabis pemutaran film sang Kiai di Metropol XXI Cikini (Senin, malam, 3 Juni 2013), saya menjabat tangannya dan berkata "Bang, terimakasih banyak. Abang sudah mengangkat sejarah sosok yang begitu berpengaruh tapi sangat sedikit buku yang membahasnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun