Sementara Thailand dari zaman Kiatisuk Senamuang masihlah kualitas yang tangguh, kalau bukan makin tak tersentuh.
Kemudian kita teringat nasib sepak bola yang menyakitkan ini hanyalah gambar kecil dari limpahan kekayaan budaya yang mengikat Indonesia kedalam keragaman luar biasa.Â
Siapalah Thailand itu dalam perbandingan ini?
Sebagai negara bangsa, kita bahkan mewakili contoh dari negeri demokratis. Dengan pemilunya yang rutin serta produk kekuasaan nan begitu-begitu saja. Senin oposisi, selasa koalisi, sisanya lupa diri.Â
Dengan perebutan kuasa yang tanpa narasi tanding, dengan perang melawan korupsi yang hampir susah dibedakan sebagai perang antar politisi. Dengan organisasi PSSI yang.....(kita hanya akan menuliskan nyinyir yang sama).Â
Namun kita tetap ingin bermimpi menjadi bagian dari negara-negara maju di tahun 2045, sekasta dengan Amerika, negara-negara di Eropa Barat, serta Jepang dan Tiongkok.Â
Dan beginilah sepak bola Indonesia di Asia Tenggara. Tidak pergi kemana-mana. Selain kepada patah hati yang berkarat, berurat-berakar-bergenerasi. Berlapis-lapis langit dan bumi, hih!
Saudara sebangsaku, cinta kita mungkin kuat, tapi timnas sepak bola tidak diciptakan untuk itu. Untuk memberikan kita kebahagiaan yang cukup. Sekali saja selama kita menjadi warga negara.
Benci, benci, benci tapi rindu juaa!