Dkils paham benar jika usia muda tak boleh tak akrab dengan politik. Jika kau ingin menguji laki-laki, berikan dia kekuasaan--Dkils ingat kata-kata ini selalu. Oleh karena itu, pilihannya berpolitik sejak usia muda dirasa sebagai panggilan yang tepat.
Sekalipun hanya hidup di sebuah gang sempit, yang konon pernah menjadi perlintasan dari serombongan sapi di masa kolonial, dengan anak-anak muda yang setiap hari membaca berita dari gawai. Kemudian berdebat sengit sampai tengah hari demi mengomentari kekuasaan yang tetap saja menyisakan perseteruan orang-orang tua dengan cara berpikir kekuasaan adalah aset yang mesti dituruntemurunkan.Â
Andi, pagi ini memulai pernyataan sesudah membaca beberapa rilis survey.Â
"Seandainya pilpres dilaksanakan pagi ini, saya kira Lelaki Berambut Perak itu akan menang dengan telak. Sekalipun dia tak diusung partainya."
Tapi Tono punya argumentasi berseberangan.Â
"Hahaha. Orang sudah muak dengan kader-kader dari partai itu. Mereka akan memilih si Senyum Manis, yang licin dan selalu ingin tampil beda. Manuvernya memang menabrak arus logika umum. Yang penting tahu caranya menang, bukan?"
Pun dengan Yanto.Â
"Ah, kalian berdua masih saja halu. Tidakkah sedikit saja pernah berpikir jika rezim laki-laki di negeri yang dulu zamrud sekarang batu akik ini sudah harus dihentikan? Kita butuh kepemimpinan perempuan, yang lembut dan tulus merangkul sesama. Perempuan yang jauh dari negosiasi akal bulus."
Dkils belum banyak berkomentar. Sembari ngupil dan mengepulkan asap ke udara, seolah menerawang, biar disangka sedang merenung. Di gang itu, dia memang sering diajak menjadi bagian dari tim sukses. Baginya, kerja tim jauh lebih penting dibanding kerja (yang) sukses.Â
Untuk apa menjadi tim sukses jika gagal? Pernah ia ditanya bapaknya.Â