Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Cerita "21 Bridges", Aksi Polisionil dan Perselingkuhan Narkotik

29 November 2019   21:59 Diperbarui: 30 November 2019   12:50 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu juga mungkin baru saja melewatkan putaran pekan yang sedikit payah. 

Pergi ke bioskop XXI untuk menjumpai kekecewaan belaka. Pasalnya, berharap bisa menikmati Charlie's Angels yang lebih fresh dibandingkan versi Drew Barrymore, Cameron Diaz dan Lucy Liu, eh malah disuguhi pertunjukan kelahi-kelahi Kristen Stewart yang memaksakan diri. 

Iya, kamu seseorang yang menyukai Drew Barrymore di masa lalu dan memasukan Kristen Stewart sebagai opsi substitutif di masa kini. Kamu mungkin sama dengan saya. Ha?!

Barusan, saya pergi lagi untuk maksud yang sama: melepas pekan dengan sedikit pertunjukan film menghibur yang pantas ditulis. 

Kali ini telah tayang film dengan aktor utama Chadwick Boseman (si Black Panther) dimana dia berperan sebagai detektif Andre Davis di kepolisian New York. 

Sebelum masuk ke sisi yang lebih dalam dari film ini (potret karakter, tatanan korup kepolisian dan motif dari konflik ), kita mungkin perlu tahu jika "21 Bridge" dibesut oleh sutradara yang bukan spesialis film panjang. Brian Kirk namanya. 

Brian Kirk lebih dikenal sebagai sutradara serial televisi. Salah satu yang populer adalah seri Game of Thrones, dimana ia membesut tiga judul: Lord Snow, Cripples, Bastards, and Broken Things serta The Wolf and the Lion. 

Selain itu, sutradara kelahiran Irlandia tahun 1968 ini juga membesut The Tudors, Brotherhood, dan Great Expectations-sekadar menyebut beberapa. 

Di situs Liputan 6, Film yang berlatar kota Manhattan ini dikabarkan gagal bersaing di box office karena dominasi "Frozen 2". Namun Brian Kirk tidak gagal sendirian karena ada dua nama lain yang pernah bekerja di balik film berbiaya mahal.

Mereka adalah bersaudara Anthony dan Joe Russo, sang sutradara Avengers: Infinity War serta Avengers: Endgame yang terlibat di lini produser. 

Di situs Internet Movie Database, film ini mendapat rating 6,6. Rating yang sesungguhnya tidak buruk bagi jenis film aksi dengan ide klasik: polisi korup melawan polisi bersih di balik jaring kuasa narkoba. 

Jadi seperti apa cerita "21 Bridges" yang awalnya berjudul "17 Bridges" ini?

Cerita "21 Bridges" dibuka dengan satu upacara duka. 

Di dalam gereja, seorang bocah harus menangis tanpa suara karena kematian tragis ayahnya. Ayahnya seorang polisi yang bersih dan mati karena bertempur dengan tiga berandal narkoba. 

Bocah itu adalah Andre Davis. 

Sesudah 19 tahun, ia tumbuh menjadi detektif di New York Police Department (NYPD) yang tidak selalu nyaman dengan proseduralisme. Ia berkembang menjadi polisi yang paling banyak membunuh penjahat dalam 8 tahun terakhir. Selain itu, ia handal dalam mengungkap kasus dan memburu pelaku kejahatan. 

Atau, kamu bisa bilang, dia seolah ambivalensi dalam insitusi kepolisian. Ketrampilannya dicintai namun caranya dibenci. 

Bagaimana dengan Manhattan, kota pulau dengan 21 jembatan?

Manhattan adalah latar dari malam yang celaka. Sebuah malam tragis yang mengungkap jejaring rumit dari perselingkuhan antara  kuasa hukum dan kuasa kartel. 

Tak ada kunang-kunang kali ini. Tak ada romantika. Hanya ada gerimis, asap mesiu dan anyir darah. 

Saat itu, dua orang disertir militer mendapat pesanan merampok kokain pada sebuah restoran. Saat bersamaan, beberapa orang polisi datang ke restoran yang sama untuk operasi tersembunyi dari "perselingkuhan" itu. 

Walhasil, adu tembak dalam jarak dekat terjadi. 8 polisi tewas seketika. Walikota marah, kepala kepolisian berang. 

Andre diminta datang untuk mengungkap siapa yang sedang melahirkan tragedi bagi aparat polisi. Bersama seorang staf perempuan dan Badan Narkotik, duet mereka ternyata tidak membutuhkan waktu lama merekaulang TKP, mengendus jejak pelaku dan memerintahkan isolasi total terhadap Manhattan. 

Teknologi kamera pengawas dan identifikasi wajah adalah perangkat yang mempercepat proses pengejaran pelaku. 

Sampai di sini, saya atau mungkin kebanyakan orang di dalam bioskop yang setengahnya saja tidak penuh itu rasa-rasanya berhasil dihipnotis oleh ketegangan yang intens. Sejenis ketegangan baku tembak yang mengingatkan pada film Ronin (1998) yang dibintangi de Niro dan Al Pacino. 

Ketegangan yang saya maksud bukan sebatas lengking desing peluru dan bunyi tubuh yang sobek berdarah lalu tumbang tak bergerak. Namun juga ketegangan itu meliputi suasana ruang yang sempit, lampu yang remang, pergerakan tubuh yang taktis dan teknik menembak yang jitu. 

Pun dengan adegan baku tembak di pinggir jalan yang memberi kesan kuat pertempuran antara profesional terlatih dengan polisi yang malang. Ada pertunjukan brutalisme yang begitu mengerikan. 

Karena itu juga, secara politik, dibutuhkan aksi polisionil yang penuh. Mobilisasi penuh harus dilakukan. Kewibawaan hukum harus segera dipulihkan. 

Persis di titik ini, penonton yang tersedot ketegangan tidak segera bisa menyadari jika aksi polisionil tersebut bukan saja demi memulihkan wibawa institusi hukum. 

Mobilisasi besar-besaran dengan isolasi yang total terhadap Manhattan juga adalah kedok yang menyembunyikan perselingkuhan korup sebuah kelompok polisi yang diberi kode 85.  

Maka sadarilah wahai saudaraku jelata (: adalah fana, politiknya abadi) pada situasi nyata, aksi politisionil negara besar-besaran bukan saja selalu membutuhkan kondisi yang mencekam. Tapi waspadai juga jika itu tidak semata demi memulihkan stabilitas dan harmonisasi sosial. Ada "hidden target" yang tak selalu mudah ditelisik.

Saya termasuk yang tersedot itu dan baru menyadari jika ada yang salah dengan perintah mobilisasi besar-besaran. Saya baru menyadari sesudah muncul percakapan tentang flashdisk yang menyimpan data-data transaksi hitam ke grup 85 itu. 

Dari sini, ending cerita seketika mudah ditebak. Cerita "21 Bridges" adalah cerita baku tembak yang ujungnya mengungkap perselingkuhan hukum dan kartel narkotik. 

Penonton kini tinggal menunggu, dalih apa yang menjadi pembenar dari perselingkuhan hitam itu?

Ternyata sang kepala grup 85 memiliki alasan yang juga seringkali dipakai untuk menjelaskan konteks struktural dari korupsi.   

Manhattan adalah kota yang tidak ramah bagi polisi kasta rendahan. Mereka berdedikasi kepada korps dan hukum namun kesejahteraan bukan harga yang otomatis dari dedikasi itu. Bahkan, kota Manhattan disebutnya "membenci mereka!"

Sementara mereka memiliki keluarga dan mimpi-mimpi yang harus direbut demi masa depan yang tenang dan bahagia. 

Lalu, apakah uang boleh membeli kebahagiaan? Ya, uang bisa melakukan itu. Selama masih manusia, masih berwujud daging, uang adalah materi yang ikut menyusun kebahagiaan bagi si kepala grup. 

Ini jenis dalih yang tidak bisa lagi dipandang semata sesuatu klise. Lebih berbahaya lagi, ia telah menjadi kondisi bagi munculnya banalitas kejahatan dari aras aparatur hukum negara.

So, apakah rating 6,6 itu pantas? Kamu pergilah ke bioskop, hehehe. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun