Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Rekonsiliasi Pertemuan MRT, Mengikuti Siapa?

15 Juli 2019   10:59 Diperbarui: 25 Oktober 2019   14:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Jokowi dan Prabowo | Kompasiana.com

Demokrasi kelak berakhir di dalam bilik suara, lalu dari mana rekonsiliasi-jika ini memang sebuah syarat-dimulai?

Jokowi dan Prabowo telah bertemu, menganjurkan kembali Garuda Pancasila dan Merah Putih sebagai dasar ikatan dan makan bersama. 

Perebutan kekuasaan yang sukses menyeret pertengkaran para pendukung ke titik didih bersama kebencian dan produksi kabar bohong, terlebih di saat-saat menjelang dan paska-penetapan KPU kini seperti memiliki pintu keluar dari ruang gelap, sesak dan diisi jenis manusia mudah kalap. 

Sekurang-kurang, titik didih itu sejenak diturunkan. Sedikit ada udara segar. 

Tapi kita seharusnya sadar, tengkar kekuasaan yang memelihara polariasi bersama klaim-klaim keselamatannya lantas mencapai "kesepakatan damai" tidak selalu berlaku menyeluruh bagi semua yang menghidupinya. 

Ini bukan lagi sebatas tentang apa yang dikehendaki elite sebagai konsensus tidak mesti menjadi peristiwa yang sama di tingkat pendukung. Klaim keselamatan, semisal jika si A terpilih, negeri ini akan kembali berdaulat, jika si B memimpin, negeri ini akan bebas dari kuasa asing! Jika si A terpilih, kesejahteraan akan merata dan kemajuan milik bersama. 

Klaim keselamatan melampaui itu. 

Dalam bahasa yang dipakai Bassam Tibi (Islam dan Islamisme; 2016) sebagai salah satu pengeritik terdepan dari Islamisme, klaim keselamatan adalah "kembalinya yang suci ke dalam politik". Sejenis usaha untuk menciptakan tatanan suci yang diklaim para pendukungnya merupakan perwujudan dari perintah agama wahyu. 

Sekurang-kurangnya, ada dua alasan atau latar belakang mengapa kembalinya yang suci ini boleh mengada jika kita mengacu pada penjelasan Bassam Tibi. Dua alasan yang umum dan tidak mengacu pada agama tertentu.

Pertama, dalam tatanan hidup yang berformasi negara-bangsa, sekularisasi sebagai salah satu konsekuensi yang niscaya dari modernisme telah menghadirkan kecemasan multiwujud. Kecemasan yang ditandai dengan mundurnya agama dari pengaturan kehidupan bersama. Agama, katanya, telah menjadi opsi yang terbatas pada laku privat. 

Kedua, dalam narasi kekalahan itu,  modernisasi bukan saja menciptakan subyek yang menulis sejarah sendiri; subyek yang menjadi "Deus". Namun juga melahirkan krisis-krisis yang beragam. 

Mulai dari dekomposisi lingkungan hingga destruksi sosial, dari kehampaan cara hidup sampai kekacauan cara pandang. Hidup dengan degradasi moral seperti sedang berada di titik paling mengerikan. 

Singkat kata, institusi sekuler telah gagal, kalau bukan telah mendorong kehidupan makin terkutuk di hadapan tuntunan wahyu. 

Kita terus melihat mengapa tema Post-Sekularisme menjadi diskusi yang penting. Post-Sekularisme bukan lagi sebuah fase dari periodisasi sejarah masyarakat manusia yang kini digerakan oleh perkembangan sains digitalisme. 

Post-Sekularisme adalah agenda peradaban untuk mensinergikan tuntutan agama dengan konsekuensi-konsekuensi dari sekulerisasi. 

Akan tetapi, kita juga tahu "kekalahan agama" di depan sekularisme tidak dalam kontra-posisi yang hitam putih semata-mata. 

Di dalam gerak pelipatan dunia oleh teknologisasi (informasi, transportasi, digitalisasi, dll, dkk), kesenjangan ekonomi, perasaan kalah sebagai pribumi, atau pembangunan yang belum "semua untuk semua", tumbuh juga alasan-alasan yang membuat populisme berbasis identitas bisa tumbuh dan mengikat orang banyak. Menciptakan harapan dan mendorong kehendak untuk memenangkan perebutan alat-alat kekuasaan. 

Singkat kata, negara (bangsa) harus direbut! 

Negara harus kembali menjadi alat bagi kepentingan orang banyak, walau kita tahu, dalam janji politik elite, itu semacam suara para demonstran yang baru lulus kursus memimpin Aksi Massa. Semua tampak membara, penuh nuansa kerakyatan, pahadal....

Negara sebagai institusi tertinggi yang mengelola sumberdaya politik bersama harus hadir untuk menghentikan ekspor kehampaan oleh globalisasi.

Maksud pertama saya, dari kondisi yang demikian, pertemuan kehendak antara "kembalinya yang suci" dan "glorifikasi politik identitas" terus menemukan momentumnya. Seperti dituntun untuk mengalami perkawinan silang. 

Lantas semuanya adalah kontradiksi produk sosio-politis yang berusaha disucikan. Seolah saja, misalnya, kepribumian sebagai identitas tiba-tiba mengada dan merasa paling berhak sebagai penghuni bangsa tanpa pernah mengalami persilangan sejarah budaya (dan politik pertikaian) yang panjang. 

Dengan perkawinan kehendak seperti ini, bagaimanakah rekonsiliasi itu boleh dikerjakan untuk merangkul seluruh unsur kewargaan atau sebenarnya hanya mungkin bekerja terbatas? 

Maksud kedua saya, politik rekonsiliasi yang didorong hanya untuk menyatukan "Cebong vs Kampret" ke dalam Garuda Pancasila atau harus diarahkan juga untuk membereskan jejak-jejak luka masa lalu yang menanggung tragedi karena politik negara paska-kolonial (baca: NEGARA ORDE BARU)? 

Jadi, ini bukan lagi merebut kembali "gairah bersama sebagai sebuah bangsa" yang terbakar polarisasi selama pilpres 2014-2019 namun juga mereka yang "dibuang" dari pengakuan dan keadilan hidup bernegara hukum? 

Kita terus tahu, rekonsiliasi yang kini sudah harus direbut-kontrol oleh "politik warga" agar tidak terus berada dalam wacana elite atau arahan negara, tetap akan berlaku terbatas. 

Itupun dengan syarat Cebong dan Kampret sudah selesai dengan perilaku standar gandanya. Merasa benar sendiri dan mengklaim diri sebagai barisan yang akan menyelamatkan bangsa ini. 

Menyelamatkan kepalamu!

Artinya, rekonsiliasi sebagai jalan untuk merekatkan kembali perpecahan yang terbit oleh perkawinan dua kehendak di atas itu, hanyalah usaha yang temporer, mungkin juga hanya menjangkau apa yang tampak menegangkan di permukaan peristiwa sosial-politik. Tidak akan (pernah) menyentuh sisi yang mendasar dan menyeluruh dalam memberi dampak terhadap pemulihan luka-luka hidup berbangsa

Sebabnya, tentu saja, ada negara yang bermasalah di sana. 

Negara yang menjadi aktor dari penciptaan luka-luka itu, yang demi pembangunan, yang demi menegakkan hukum dasar tertinggi, yang demi melindungi falsafah hidup bersama lantas berhak menggunakan alat-alat represinya, bukan saja perkakas ideologis. 

Padahal negara yang seperti ini, seperti banyak diriset, adalah negara yang bekerja untuk kepentingan segelintir demi segelintir (entah oligarki, entah kartel, entah reproduksi feodalisme). 

Jadi, sesudah pertemuan MRT, rekonsiliasi yang dipilih sebenarnya akan mengikuti jalan siapa? 

Siapa di sana bukan saja subyek dalam pengertian kelompok-kelompok pendukung yang masih mengurapi ketegangan. Siapa bukan saja menunjuk kepada mereka yang terlanjur atau harus menanggung nasib sebagai korban tanpa keadilan hukum. 

Siapa juga adalah kepada mereka yang mengatur dan memiliki agenda rekonsiliasi yang jujur, setara dan berani untuk mengakui kesalahan sebelum menyatukan diri dalam pemberian maaf. 

Adakah "siapa" yang seperti ini mungkin diwujudkan?

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun