Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Memori Kota Serui; Pelajaran dari Perjumpaan Kembali

3 Juli 2013   17:08 Diperbarui: 25 November 2020   22:18 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Rumah Pengasingan Sam Ratulangi di Serui yang saya kutip dari http://lanisphotoblog.wordpress.com/.

Perjalanan yang saya lakukan terjadi di tahun 2011 silam. Cerita ini saya tulis kembali disini untuk kepentingan berbagi cerita dari Tanah Papua dari sedikit kisah para guru. 

Aku Cinta Serui. Atau Aman Ceria Indah Sehat. Disingkat ACIS. Slogan yang muncul pertama kali dimasa ditahun pertengahan 1980-an ini masih terpampang pada sebuah papan di salah satu perempatan sebelah timur dari alun-alun kota, persis di halaman depan rumah tua yang pernah ditinggali Sam Ratulangi selama pembuangan Belanda. 

Sebenarnya, lebih akrab menyebutnya bukan alun-alun kota, tetapi lapangan Trikora, yang memang letakknya di tengah kota. Setahuku, eksistensi alun-alun lebih berasosiasi ruang kota di Jawa, yang mengenal tata ruang bak lingkaran konsentris: lingkaran terdalam adalah lingkaran kuasa tertinggi. 

Kota-kota di Papua atau barangkali peradaban Melanesia tak mengenal konsep tata wilayah seperti itu. 

Entahlah. Sebisa mata memandang, kota Serui memiliki jalan-jalan dengan lebar yang hanya bisa dilewati satu kendaraan roda empat. Tapi, sehari-hari di dalam kotanya, angkutan roda empat tidak terlalu ramai melayani mobilitas warga. Moda transportasi utama dalam kota adalah roda dua alias ojek. Sekali bergerak ke satu tujuan, jauh dekat membayar empat ribu rupiah. Sementara di Port Numbay (Jayapura), ibu kota Propinsi, rata-rata harga angkutan roda empat dalam kota masih tiga ribu rupiah. Entah sekarang sesudah harga BBM dinaikkan lagi. 

Cerita ini mau berbagi sedikit kisah tentang perjumpaan kembali, ingatan, dan kesaksian antar anak manusia. Anak manusia yang memenuhi panggilan hidupnya sebagai guru di tanah Papua. 

Seminggu disini, saya tak bisa mengunjungi banyak tempat. Saya juga tak menjumpai banyak manusia. Saya hanya melakukan napak tilas, sebuah tindakan menelisik masa lalu melalui mereka yang masih hidup dan karya artefak yang masih tersisa-tegak. Singkat kata, untuk melakukan tindakan kembali ke masa lalu itu, kita harus terlibat obrolan panjang dan mengunjungi lokasi tertentu. 

Tentu saja obrolan dimaksud bukan semesta pembicaraan yang tiada maksud persis seperti gerombolan pemabuk yang duduk bercerita. Jadi napak tilas yang saya lakukan adalah menelusuri ingatan melalui obrolan para guru. 

Mereka, para guru pemilik ingatan itu, merupakan generasi perantau yang datang diantara akhir 1970-an dan pertengahan 1980-an. Bisa dikata, jika tahun 1969, Papua baru melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), maka rombongan perantau ini tak berlebihan jika digolongkan sebagai generasi awal amber (pendatang) di tanah Papua. 

Sebagian besar yang saya jumpai adalah guru, terutama di Sekolah Menengah Atas atau setingkat di bawahnya. 

Merawat Ingatan, Menguatkan Ikatan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun