Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Bambu Kuning, Ketika Pasar Legendaris Tinggal Kenangan

5 Oktober 2025   14:40 Diperbarui: 5 Oktober 2025   14:40 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu utama Bambu Kuning Trade Center (BTC). Meski sudah berganti nama, warga tetap akrab menyebutnya Pasar Bambu Kuning. (Dok.Pribadi/Tupari)

Dulu sekitar tahun 2004an, setiap akhir pekan, Bambu Kuning selalu menjadi tujuan utama keluarga saya. Di sanalah kami membeli sepatu sekolah, kain seragam, hingga tas murah meriah. Hiruk-pikuk pedagang yang berteriak menawarkan dagangan, aroma kain baru bercampur bau kue basah, serta lorong sempit yang dipenuhi pembeli, masih terekam jelas dalam ingatan.

Kini, saat saya kembali melangkah ke bangunan yang sama (4/10), suasananya jauh berbeda. Banyak kios tertutup, lantai atas lengang, dan gema kejayaan itu seakan hanya tersisa dalam kenangan.

Begitulah kira-kira perasaan banyak warga Bandar Lampung ketika menyebut Pasar Bambu Kuning (BKP). Pasar yang berdiri di jantung kota ini bukan sekadar ruang transaksi ekonomi, melainkan bagian dari identitas kota. Ia pernah menjadi ikon belanja rakyat, menandai sebuah era ketika masyarakat Lampung lebih akrab dengan pasar rakyat ketimbang pusat perbelanjaan modern.

Pertanyaannya, sampai kapan pasar legendaris ini mampu bertahan di tengah arus perubahan zaman?

Jejak Kejayaan di Masa Lalu

Pada era 1980-1990-an, Pasar Bambu Kuning berada di puncak kejayaannya. Sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di Bandar Lampung, ia menawarkan hampir segalanya: pakaian, kain, sepatu, tas, hingga peralatan rumah tangga. Tidak hanya warga kota, pembeli dari kabupaten-kabupaten sekitar pun rela menempuh perjalanan jauh untuk berbelanja di sini.

Bangunannya bertingkat, menyerupai mal sederhana, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai “mall rakyat”. Berbeda dengan pasar tradisional yang biasanya becek dan terbuka, Bambu Kuning menawarkan pengalaman belanja yang lebih tertata, meski tetap dengan harga yang bersahabat.

Bagi sebagian orang tua, BKP menjadi pilihan utama untuk melengkapi kebutuhan sekolah anak-anak. Dari seragam, sepatu, hingga tas, semua bisa didapat di sini dengan harga terjangkau. Banyak pula pedagang grosir yang memasok barang dagangannya ke daerah lain. Hiruk pikuk tawar-menawar, lantai yang selalu ramai, hingga aroma khas kain dan kulit sintetis menjadi penanda era keemasan pasar ini.

Deretan kios pakaian di Bambu Kuning terlihat lengang. Modernisasi tidak serta-merta mengembalikan riuhnya pasar di masa lalu. (Dok.Pribadi/Tupari)
Deretan kios pakaian di Bambu Kuning terlihat lengang. Modernisasi tidak serta-merta mengembalikan riuhnya pasar di masa lalu. (Dok.Pribadi/Tupari)

Saat Modernitas Menyapa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun