Dulu sekitar tahun 2004an, setiap akhir pekan, Bambu Kuning selalu menjadi tujuan utama keluarga saya. Di sanalah kami membeli sepatu sekolah, kain seragam, hingga tas murah meriah. Hiruk-pikuk pedagang yang berteriak menawarkan dagangan, aroma kain baru bercampur bau kue basah, serta lorong sempit yang dipenuhi pembeli, masih terekam jelas dalam ingatan.
Kini, saat saya kembali melangkah ke bangunan yang sama (4/10), suasananya jauh berbeda. Banyak kios tertutup, lantai atas lengang, dan gema kejayaan itu seakan hanya tersisa dalam kenangan.
Begitulah kira-kira perasaan banyak warga Bandar Lampung ketika menyebut Pasar Bambu Kuning (BKP). Pasar yang berdiri di jantung kota ini bukan sekadar ruang transaksi ekonomi, melainkan bagian dari identitas kota. Ia pernah menjadi ikon belanja rakyat, menandai sebuah era ketika masyarakat Lampung lebih akrab dengan pasar rakyat ketimbang pusat perbelanjaan modern.
Pertanyaannya, sampai kapan pasar legendaris ini mampu bertahan di tengah arus perubahan zaman?
Jejak Kejayaan di Masa Lalu
Pada era 1980-1990-an, Pasar Bambu Kuning berada di puncak kejayaannya. Sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar di Bandar Lampung, ia menawarkan hampir segalanya: pakaian, kain, sepatu, tas, hingga peralatan rumah tangga. Tidak hanya warga kota, pembeli dari kabupaten-kabupaten sekitar pun rela menempuh perjalanan jauh untuk berbelanja di sini.
Bangunannya bertingkat, menyerupai mal sederhana, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai “mall rakyat”. Berbeda dengan pasar tradisional yang biasanya becek dan terbuka, Bambu Kuning menawarkan pengalaman belanja yang lebih tertata, meski tetap dengan harga yang bersahabat.
Bagi sebagian orang tua, BKP menjadi pilihan utama untuk melengkapi kebutuhan sekolah anak-anak. Dari seragam, sepatu, hingga tas, semua bisa didapat di sini dengan harga terjangkau. Banyak pula pedagang grosir yang memasok barang dagangannya ke daerah lain. Hiruk pikuk tawar-menawar, lantai yang selalu ramai, hingga aroma khas kain dan kulit sintetis menjadi penanda era keemasan pasar ini.
Saat Modernitas Menyapa