Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bulir Padi di Tangan Perempuan, dan Jejak Kearifan yang Terancam Hilang

24 September 2025   09:02 Diperbarui: 24 September 2025   11:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu sedang memanen padi dengan cara tradisional (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Dengan sabit padi, mereka memotong batang demi batang, lalu mengumpulkannya menjadi ikatan-ikatan kecil. Proses ini berlanjut dengan cara merontokkan bulir padi secara sederhana: ikatan-ikatan itu disabetkan ke alat kayu atau bambu yang disusun khusus. Suara plak-plak terdengar berulang, bulir padi berhamburan jatuh, sementara bau gabah segar memenuhi udara.

Gerakan ini memang kalah cepat dibanding mesin combine harvester, tetapi menyimpan makna. Setiap helai padi diperlakukan dengan hati-hati, seakan ada doa yang tersemat di dalamnya. Di sela-sela aktivitas, terdengar canda dan tawa. Suara perempuan yang bersahutan menjadikan sawah bukan hanya tempat kerja, melainkan juga ruang interaksi sosial yang menguatkan solidaritas. Gotong royong, rasa kebersamaan, dan penghormatan pada bumi terjalin dalam setiap gerakan sederhana itu.

Dari Sawah ke Halaman Rumah: Pascapanen Tradisional

Setelah panen, halaman rumah berubah menjadi ruang produksi. Butiran padi dijemur di bawah terik matahari, dibalik dengan tampah atau gayung kecil agar kering merata.

Menjemur padi bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi juga seni membaca tanda alam. Perempuan desa tahu kapan harus menutup jemuran dengan terpal karena mendung datang, atau kapan menambah waktu penjemuran agar kadar air berkurang sempurna. Kejelian ini diwariskan turun-temurun tanpa buku panduan, tanpa catatan akademik, tetapi tetap teruji oleh waktu.

Di masa lalu, padi kering disimpan di lumbung bambu yang menjulang di halaman. Saat panen raya, seluruh warga bahu-membahu menyimpan hasil bumi, menjadikannya pesta syukur kecil yang sarat makna. Kini, pemandangan itu semakin jarang terlihat.

Menjemur padi bagian dari proses panen yang membutuhkan kemampuan membaca cuaca. (Sumber: kompas.com)
Menjemur padi bagian dari proses panen yang membutuhkan kemampuan membaca cuaca. (Sumber: kompas.com)

Kebijakan Pertanian dan Ruang Perempuan yang Terpinggirkan

Dalam satu dekade terakhir, pemerintah gencar mendorong modernisasi pertanian melalui berbagai program: mekanisasi dengan mesin combine harvester, subsidi pupuk, hingga pengembangan food estate di sejumlah daerah. Kebijakan ini di atas kertas bertujuan mulia - meningkatkan efisiensi, menekan biaya produksi, serta memperkuat ketahanan pangan nasional.

Namun, di lapangan, kebijakan itu tidak selalu ramah bagi petani kecil, apalagi perempuan desa.

Mekanisasi misalnya, memang mempercepat proses panen dan mengurangi kehilangan hasil. Tetapi biaya sewanya cukup tinggi bagi petani gurem yang hanya memiliki lahan 0,2-0,3 hektare. Di banyak desa, operator mesin combine datang dari luar daerah, sehingga nilai ekonomi tidak berputar di lingkar komunitas. Perempuan yang dulu terlibat aktif dalam proses panen - dari menyabit hingga merontokkan padi - kehilangan peran sekaligus penghasilan tambahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun