Dengan sabit padi, mereka memotong batang demi batang, lalu mengumpulkannya menjadi ikatan-ikatan kecil. Proses ini berlanjut dengan cara merontokkan bulir padi secara sederhana: ikatan-ikatan itu disabetkan ke alat kayu atau bambu yang disusun khusus. Suara plak-plak terdengar berulang, bulir padi berhamburan jatuh, sementara bau gabah segar memenuhi udara.
Gerakan ini memang kalah cepat dibanding mesin combine harvester, tetapi menyimpan makna. Setiap helai padi diperlakukan dengan hati-hati, seakan ada doa yang tersemat di dalamnya. Di sela-sela aktivitas, terdengar canda dan tawa. Suara perempuan yang bersahutan menjadikan sawah bukan hanya tempat kerja, melainkan juga ruang interaksi sosial yang menguatkan solidaritas. Gotong royong, rasa kebersamaan, dan penghormatan pada bumi terjalin dalam setiap gerakan sederhana itu.
Dari Sawah ke Halaman Rumah: Pascapanen Tradisional
Setelah panen, halaman rumah berubah menjadi ruang produksi. Butiran padi dijemur di bawah terik matahari, dibalik dengan tampah atau gayung kecil agar kering merata.
Menjemur padi bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi juga seni membaca tanda alam. Perempuan desa tahu kapan harus menutup jemuran dengan terpal karena mendung datang, atau kapan menambah waktu penjemuran agar kadar air berkurang sempurna. Kejelian ini diwariskan turun-temurun tanpa buku panduan, tanpa catatan akademik, tetapi tetap teruji oleh waktu.
Di masa lalu, padi kering disimpan di lumbung bambu yang menjulang di halaman. Saat panen raya, seluruh warga bahu-membahu menyimpan hasil bumi, menjadikannya pesta syukur kecil yang sarat makna. Kini, pemandangan itu semakin jarang terlihat.
Kebijakan Pertanian dan Ruang Perempuan yang Terpinggirkan
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah gencar mendorong modernisasi pertanian melalui berbagai program: mekanisasi dengan mesin combine harvester, subsidi pupuk, hingga pengembangan food estate di sejumlah daerah. Kebijakan ini di atas kertas bertujuan mulia - meningkatkan efisiensi, menekan biaya produksi, serta memperkuat ketahanan pangan nasional.
Namun, di lapangan, kebijakan itu tidak selalu ramah bagi petani kecil, apalagi perempuan desa.
Mekanisasi misalnya, memang mempercepat proses panen dan mengurangi kehilangan hasil. Tetapi biaya sewanya cukup tinggi bagi petani gurem yang hanya memiliki lahan 0,2-0,3 hektare. Di banyak desa, operator mesin combine datang dari luar daerah, sehingga nilai ekonomi tidak berputar di lingkar komunitas. Perempuan yang dulu terlibat aktif dalam proses panen - dari menyabit hingga merontokkan padi - kehilangan peran sekaligus penghasilan tambahan.