Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ojo Dumeh: Pelajaran Hidup yang Sering Dilupakan

9 Agustus 2025   09:05 Diperbarui: 8 Agustus 2025   22:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang kakek sedang menasehati cucunya. (Sumber: Dok. Pribadi/ Tupari)

Pernahkah kita tanpa sadar merasa lebih pintar, lebih sukses, atau lebih berkuasa daripada orang lain? Mungkin saat menduduki jabatan baru, saat berhasil membeli sesuatu yang diimpikan, atau ketika melihat seseorang yang hidupnya tidak seberuntung kita. Di momen-momen seperti itu, ada sebuah pesan sederhana dari kearifan Jawa yang seharusnya kita ingat: Ojo Dumeh.”

Ungkapan ini mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang, tetapi maknanya justru semakin relevan di zaman sekarang. Ketika media sosial membuat banyak orang berlomba-lomba menunjukkan pencapaiannya, nasihat ini hadir sebagai pengingat bahwa hidup tidak selalu soal siapa yang terlihat paling hebat.

Apa Itu “Ojo Dumeh”?

Secara harfiah, “Ojo Dumeh” dalam bahasa Jawa berarti “jangan merasa lebih” atau “jangan sombong.” Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar larangan untuk pamer.

Pesan ini menekankan pentingnya kerendahan hati, kesadaran diri, dan empati terhadap sesama. “Ojo Dumeh” bukan hanya tentang menahan diri agar tidak merendahkan orang lain, tetapi juga tentang menjaga hati agar tidak terjebak dalam rasa angkuh yang bisa merusak hubungan sosial.

Di era digital yang serba cepat, nasihat ini menjadi tameng yang melindungi kita dari budaya “pamer” yang seringkali tak disadari. Bukan berarti kita tidak boleh bahagia dengan pencapaian kita, tetapi kita diingatkan untuk tidak merasa bahwa pencapaian itu membuat kita lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain.

Bentuk “Dumeh” di Kehidupan Sehari-Hari

Jika kita jujur, tanpa sadar kita sering menemui atau bahkan melakukan “dumeh” dalam kehidupan sehari-hari.

1. Dumeh Pangkat

Merasa berkuasa hanya karena jabatan, lalu memandang rendah bawahan atau rekan kerja. Padahal, setiap posisi bisa berganti kapan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun