Pernahkah kita tanpa sadar merasa lebih pintar, lebih sukses, atau lebih berkuasa daripada orang lain? Mungkin saat menduduki jabatan baru, saat berhasil membeli sesuatu yang diimpikan, atau ketika melihat seseorang yang hidupnya tidak seberuntung kita. Di momen-momen seperti itu, ada sebuah pesan sederhana dari kearifan Jawa yang seharusnya kita ingat: “Ojo Dumeh.”
Ungkapan ini mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang, tetapi maknanya justru semakin relevan di zaman sekarang. Ketika media sosial membuat banyak orang berlomba-lomba menunjukkan pencapaiannya, nasihat ini hadir sebagai pengingat bahwa hidup tidak selalu soal siapa yang terlihat paling hebat.
Apa Itu “Ojo Dumeh”?
Secara harfiah, “Ojo Dumeh” dalam bahasa Jawa berarti “jangan merasa lebih” atau “jangan sombong.” Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar larangan untuk pamer.
Pesan ini menekankan pentingnya kerendahan hati, kesadaran diri, dan empati terhadap sesama. “Ojo Dumeh” bukan hanya tentang menahan diri agar tidak merendahkan orang lain, tetapi juga tentang menjaga hati agar tidak terjebak dalam rasa angkuh yang bisa merusak hubungan sosial.
Di era digital yang serba cepat, nasihat ini menjadi tameng yang melindungi kita dari budaya “pamer” yang seringkali tak disadari. Bukan berarti kita tidak boleh bahagia dengan pencapaian kita, tetapi kita diingatkan untuk tidak merasa bahwa pencapaian itu membuat kita lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain.
Bentuk “Dumeh” di Kehidupan Sehari-Hari
Jika kita jujur, tanpa sadar kita sering menemui atau bahkan melakukan “dumeh” dalam kehidupan sehari-hari.
1. Dumeh Pangkat
Merasa berkuasa hanya karena jabatan, lalu memandang rendah bawahan atau rekan kerja. Padahal, setiap posisi bisa berganti kapan saja.