Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Runtuhnya Budaya Karena Bahasa yang Dilupakan

6 Agustus 2025   17:06 Diperbarui: 6 Agustus 2025   19:46 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Saat kita berhenti mengajarkan bahasa, kita sedang memutus akar sejarah kita sendiri. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)

Saya katakan kepadanya, “Biarkan saja dibilang ‘katrok,’ yang penting anak-anak kita tidak kehilangan akar budayanya.”

Sejak kecil, keponakan saya diajarkan bahasa Jawa sebagai bahasa utama di rumah. Bahasa Indonesia baru ia pelajari pelan-pelan, setelah mulai memahami konsep bahasa. Dan hasilnya? Sekarang ia sudah duduk di kelas 2 SD. Tidak ada masalah sama sekali. Sekolahnya lancar, kemampuan bahasanya berkembang baik, bahkan ia memiliki kelebihan karena menguasai dua bahasa sejak dini.

Kisah ini menjadi bukti nyata: mengenalkan bahasa ibu terlebih dahulu tidak membuat anak ketinggalan, justru memperkaya mereka.

Mengapa Bahasa Ibu Terlupakan?

Ada beberapa alasan mengapa bahasa ibu kian terpinggirkan:

  1. Stigma Modernisasi
    Banyak orang tua merasa bahwa mengajarkan bahasa daerah akan menghambat anaknya beradaptasi dengan dunia modern. Mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sejak dini, bahkan di kampung sekalipun.

  2. Pendidikan Formal yang Terpusat
    Sekolah-sekolah lebih fokus pada penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing, sedangkan bahasa daerah hanya menjadi pelajaran tambahan yang sering diabaikan.

  3. Pengaruh Media
    Televisi, internet, dan media sosial lebih banyak menampilkan konten berbahasa Indonesia atau bahasa asing, sehingga anak-anak semakin jarang mendengar bahasa daerah di rumah.

  4. Kurangnya Kebanggaan terhadap Bahasa Daerah
    Tak sedikit orang merasa malu menggunakan bahasa daerahnya, terutama di kota besar, karena dianggap “kampungan.”

Bahaya yang Mengancam

Bahasa yang punah berarti budaya yang ikut terkubur. Inilah beberapa dampak seriusnya:

  • Hilangnya Identitas Lokal: Anak-anak tumbuh tanpa mengenal akar mereka sendiri.
  • Putusnya Tradisi Lisan: Cerita rakyat, pantun, mantra adat, hingga doa tradisional tak lagi bisa dipahami generasi muda.
  • Uniformitas Budaya: Semua menjadi seragam tanpa keberagaman bahasa yang dulu membuat Indonesia kaya warna.
  • Runtuhnya Peradaban Lokal: Tanpa bahasa, tak ada lagi alat untuk melestarikan pengetahuan tradisional yang unik di tiap daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun