Hiruk-pikuk orang tua terdengar di sana-sini, ada yang sibuk mengisi data online lewat gawai mereka, ada juga yang membuka laptop yang dibawa sendiri dari rumah, berusaha menyelesaikan entri data sebelum maju ke meja verifikasi.
Dari sudut tempat duduk saya, saya bisa melihat setiap riak wajah orang tua: ada yang tegang, ada yang berbisik-bisik dengan pasangannya, ada pula yang tampak kebingungan. Suasana itu seperti mencerminkan satu hal-setiap orang tua sedang membawa harapan dan kegelisahan masing-masing.
Tiba-tiba, seorang ibu menghampiri saya.
Wajahnya panik, nadanya terburu-buru.
"Pak, ini link pendaftarannya di mana ya? Kalau scan barcode itu gimana caranya?"
Saya menatap matanya dan tahu: ini bukan sekadar kebingungan teknis, ini adalah kegelisahan seorang ibu yang takut salah langkah dalam mendaftarkan anaknya. Saya mencoba menjelaskan pelan-pelan. Agak rumit memang, karena penjelasan digital kadang tidak cukup hanya dengan kata-kata. Maka saya ambil ponsel saya, buka laman pendaftaran, dan menunjukkan langsung langkah-langkahnya.
Baru setelah itu ibu tersebut mengangguk-angguk lega.
Padahal, semua informasi sebenarnya sudah tersedia-tercetak jelas di banner besar di dinding depan. Tapi dalam situasi panik, kadang yang terlihat pun bisa menjadi tak terlihat. Fokus mengabur, rasa takut menutupi logika, dan semua terasa membingungkan.
Momen kecil itu membuat saya kembali merenung.
Mungkin benar, kita terlalu sering menyalahkan ketidaktahuan, padahal yang terjadi adalah ketakutan dan tekanan batin yang terlalu besar. Bagi sebagian orang tua, istilah "scan barcode", "unggah dokumen", "akses link" adalah dunia baru yang asing. Dan dalam suasana yang penuh tekanan, siapa pun bisa panik-bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya sederhana. Mungkin tangan mereka gemetar saat menyerahkan map. Bahkan, mereka tak tahu harus bertanya pada siapa ketika berkasnya dianggap belum lengkap.
Maka semakin saya yakin, bahwa proses pendaftaran sekolah tak bisa hanya dibangun di atas sistem yang rapi-ia juga harus ditopang oleh keramahan hati dan empati, oleh kehadiran orang-orang yang mau memandu, bukan hanya memeriksa.
Pendidikan bukan hanya milik mereka yang paham sistem. Tapi milik semua-termasuk mereka yang hari ini masih belajar memahami, sambil berjuang mendaftarkan anak-anak mereka masuk sekolah dengan penuh cinta dan harapan.
Tak berapa lama menunggu, nomor urut antrian kami pun dipanggil. Kami dipersilakan masuk dan duduk. Di meja verifikasi, kami disambut dengan hangat dan penuh keramahan oleh panitia yang bertugas. Satu per satu dokumen pendaftaran kami diperiksa dengan teliti.