Paradoks Amplop Kondangan: Antara Ikhlas dan Kalkulasi
Pernahkah kita duduk di kursi tamu sebuah pesta pernikahan, tersenyum manis sambil menggenggam amplop, lalu tiba-tiba berpikir: "Ini kira-kira cukup nggak, ya?" Di tengah tawa dan ucapan selamat, kadang ada detak kecil dalam hati yang tak bisa dibohongi-antara niat memberi dan hitung-hitungan biaya. Â Di tangan kita, hanya selembar amplop. Tapi di dalamnya, terkandung perasaan, perhitungan, dan - kadang -pertarungan batin.
Amplop kondangan memang unik. Ia bisa jadi simbol ketulusan, tapi juga diam-diam menjadi alat kalkulasi sosial. Berapa isi amplop bukan hanya soal isi dompet, tapi juga relasi, gengsi, dan kadang... balas jasa. Di sinilah amplop kecil itu menyimpan kisah yang tak sekecil ukurannya.
Amplop kondangan. Sekilas hanya secarik kertas berisi uang, tapi sesungguhnya ia menyimpan banyak hal: perasaan, gengsi, kalkulasi, bahkan luka sosial. Kita datang ke pesta membawa senyum, tapi tak jarang juga membawa beban. Bukan hanya memikirkan penampilan, tapi juga angka: "Kasih berapa, ya, biar nggak malu-maluin?"
Tradisi yang seharusnya menghangatkan kini justru memunculkan kegelisahan. Apakah kehadiran kita masih dihargai jika isi amplop tidak sesuai harapan? Di balik tawa dan ucapan selamat, ada detak kecil dalam hati yang bertanya, "Ini cukup nggak, ya?"
Ketika Ucapan Selamat Harus Disertai dengan Nominal
Sebuah pesta pernikahan sedang berlangsung megah. Musik mengalun, makanan berlimpah, dan antrean tamu memanjang menuju pelaminan. Di antara antrian itu, ada pemandangan yang sangat umum namun jarang dibahas: orang-orang yang membuka dompet diam-diam, memasukkan uang ke dalam amplop, dan menuliskan nama.
Kita tahu semua ini ritual. Tapi mari jujur sebentar: berapa banyak dari kita yang menimbang-nimbang nominal sebelum menuliskannya? "Kalau terlalu kecil, malu. Kalau terlalu besar, berat. Tapi... dia dulu kasih berapa ya ke acara gue?"
Inilah momen ketika ikhlas bertemu kalkulasi, dan tradisi yang seharusnya bermakna malah berubah jadi transaksi sosial.
Kita menyebutnya tanda kasih, tapi diam-diam kita mengisinya dengan hitung-hitungan. Amplop kondangan-simbol tradisi yang indah-hari ini berubah menjadi alat ukur gengsi, status, dan bahkan perhitungan balas budi. Masihkah ia pantas disebut budaya gotong royong?