Seri 1: Negeri Kondangan - Ketika Hidup Kita Diatur oleh Undangan Â
Di dunia yang serba sibuk, ada satu jeda yang tetap kita beri ruang: kondangan.
Ia datang lewat selembar kertas, pesan singkat, atau kunjungan langsung - tapi maknanya jauh lebih dalam dari sekadar ajakan makan di gedung resepsi.
Kondangan adalah lebih dari sekadar datang ke pesta. Ia adalah ritus sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi, tempat kita belajar hadir, menghormati, dan berbagi. Di balik senyum pengantin dan denting sendok di prasmanan, terselip makna mendalam: tentang hubungan, tentang timbal balik, dan tentang bagaimana kita hidup bersama.
Kondangan adalah bentuk cinta dalam budaya kita - cinta yang datang dengan baju rapi, amplop kecil, dan waktu yang disisihkan.
Ia bisa melelahkan. Bisa menyita waktu dan uang. Tapi juga bisa menghangatkan hati. Sebab ketika kita datang ke kondangan, sejatinya kita berkata:
"Aku turut bahagia atas hidupmu. Dan aku hadir, karena kamu penting."
Kondangan adalah ritual diam-diam yang menyatukan kita sebagai manusia.
Ketika seseorang menikah, kelahiran cinta mereka seolah menjadi milik bersama. Kita diminta hadir, bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai saksi: bahwa dua kehidupan bertaut dan masyarakat sekitarnya turut bersyukur.
"Hidup tidak bisa dijalani sendirian. Dan kebahagiaan, betapapun personalnya, selalu membutuhkan orang lain untuk jadi lengkap."
Lalu datanglah kita - kadang dengan senyum ikhlas, kadang dengan lelah yang tersembunyi. Tapi tetap datang.
Karena inilah wajah kehidupan sosial kita yang sesungguhnya: hadir, bahkan saat tak sempat. Memberi, bahkan saat tak banyak.
Inilah awal kisah tentang sebuah negeri yang tidak pernah kehabisan undangan, dan tidak pernah berhenti melangkah:
Negeri Kondangan.
Di kota, kondangan jadi rutinitas. Di desa, kondangan adalah kehormatan. Di antara keduanya, banyak orang kelelahan tapi tetap melangkah... karena punjungan.