Dhamma yang merupakan ajaran Buddha dan AI tentu tidak bisa disamakan. Namun, kita bisa menemukan dititik mana antara Dhamma dan kecerdasan buatan (AI) bisa bertemu. Mengapa hal ini perlu digali lebih mendalam? Kita ketahui jika kehidupan diliputi oleh Tiga Corak Universal (anicca, dukkha, dan anatta).Â
Anicca, Dukkha, Anatta & AI: Refleksi Buddhis atas Teknologi Masa KiniÂ
Anicca mengajarkan bahwa kehidupan selalu berubah dan merupakan keniscayaan dalam semua aspek eksistensi. Tak ada satu pun yang bisa bertahan dalam keadaan yang sama, termasuk cara hidup manusia, belajar, bekerja, dan cara beruhubungan dengan setiap aspek kehidupan. Di sinilah teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI) hadir sebagai buah dari perubahan zaman yang tidak bisa kita hindari.
Dukkha mengajarkan bahwa dalam hidup yang penuh ketidak pastian ada ketidak senangan yang menyertai. Dukkha hadir sebagai pengingat bahwa perubahan itu sering kali menimbulkan ketidak nyamanan. Tidak semua siap menghadapi dan menerima ketidakpastian yang ada. Hadirnya teknologi canggih menimbulkan ketidak pastian hidup semakin nyata. Banyak yang kehilangan pekerjaan, mengalami kegelisahan eksistensial, hingga kekhawatiran akan dominasi mesin merupakan bentuk ketidak senangan yang menyertai kemajuan teknologi. Di sini, AI menjadi simbol transformasi besar yang meskipun menjanjikan efisiensi, kemudahan, dan produktivitas, namun juga menimbulkan keresahan yang eksistensial.
Sedangkan Anatta menunjukkan fakta bahwa segala terkondisi merupakan rangkaian kombinasi tanpa inti termasuk manusia dan teknologi. AI bukan merupakan sesuatu yang tiba-tiba muncul atau berdiri sendiri, tetapi merupakan buah dari pikiran, data, sistem logika, dan kerja kolektif manusia. Dalam hal ini, AI sejatinya juga mencerminkan bagian dari manusia itu sendiri, meski dalam bentuk yang tidak memiliki wujud maupun kesadaran sejati.Â
Sebagai masyarakat Buddhis, kehadiran AI bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan atau bahkan di tolak mentah-mentah, tetapi perlu dipahami sebagai dinamika perubahan itu sendiri. Ketika orang memahami bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal (anicca), penuh tantangan (dukkha), dan tanpa substansi yang tetap (anatta), Ia tidak akan reaktif ketika menghadapi AI tetapi mampu menempatkan AI secara bijak dalam kehidupannya.
Lalu dimana titik bertemunya?
Sekilas, keduanya tampak berada di dua kutub yang berlawanan—satu kontemplatif, yang lain kalkulatif.  Buddhisme adalah jalan sunyi yang mengajarkan kesadaran, welas asih, dan pelepasan dari keterikatan, sedangkan kecerdasan buatan (AI) adalah produk kemajuan teknologi yang didorong oleh efisiensi, logika, dan data. Namun, jika kita perhatikan lebih dalam, keduanya sama-sama berurusan dengan pertanyaan paling mendasar: apa itu kesadaran?, apa tujuan keberadaan?, dan bagaimana seharusnya kita hidup bersama makhluk lain?Â
Di sinilah Buddhisme menawarkan ruang kontemplatif yang menarik antara Dharma dan algoritma. AI dapat menjadi alat untuk menyebarkan welas asih, memperluas pendidikan Dharma, dan bahkan menyuarakan pemahaman bijak - selama dikendalikan dengan penuh kesadaran.
Kesadaran (sati): Antara Meditasi dan Machine Learning
Kesadaran (sati) merupakan inti dari praktik spiritual dalam Buddhisme. Dengan meditasi, seseorang diajak untuk menyadari keberadaan momen demi momen tanpa melekat. Kesadaran dalam Buddhisme bukan sekadar tahu atau sadar dalam pengertian umum, tetapi sebuah kondisi hadir penuh perhatian yang memurnikan batin dari kegelapan pikiran.