Di tengah ketegangan teknologi dengan Amerika Serikat, Tiongkok mengambil langkah besar dalam mengejar kedaulatan di bidang kecerdasan buatan (AI). Tak lagi sekadar mengejar ketertinggalan, negara ini mulai membangun ekosistem teknologi yang terintegrasi, mandiri, dan siap bersaing di panggung global. Dalam beberapa bulan terakhir, lonjakan aktivitas AI di Tiongkok terasa luar biasa---dari inovasi teknis, peluncuran chip, pembentukan aliansi industri, hingga penetapan regulasi nasional. Semua itu menjadi bagian dari strategi besar yang digerakkan langsung oleh kepemimpinan negara.
Presiden Xi Jinping pada April 2025 secara tegas menyatakan bahwa Tiongkok harus mencapai swasembada dalam pengembangan teknologi AI. Pernyataan ini bukanlah slogan kosong, tetapi bagian dari pendekatan sistem nasional terpadu, di mana pemerintah dan sektor swasta digerakkan dalam satu barisan. Sebagai respon, berbagai perusahaan besar seperti Huawei, Baidu, dan startup semacam DeepSeek dan MiniMax meluncurkan terobosan yang sebelumnya tak terpikirkan. Target ambisius untuk mencapai 70 persen kemandirian chip AI pada 2028 bahkan telah dimulai melalui proyek nasional yang dijuluki "Project Spare Tire," sebagai simbol kesiapan menghadapi blokade teknologi luar.
Salah satu tonggak penting dalam pergerakan ini adalah penyelenggaraan World AI Conference 2025 di Shanghai, yang bukan hanya ajang pameran teknologi, tetapi juga forum politik dan strategi. Dalam acara ini, dua aliansi besar terbentuk: Model-Chip Ecosystem Innovation Alliance dan Komite AI Shanghai Chamber of Commerce. Aliansi ini melibatkan perusahaan papan atas seperti Huawei, Biren, StepFun, MetaX, hingga SenseTime. Tujuannya jelas---menyatukan model bahasa besar (LLM) buatan Tiongkok dengan perangkat keras lokal melalui protokol, API, dan format data buatan dalam negeri, demi mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat, khususnya dari AS.
Tak hanya dari sisi kebijakan dan aliansi, dari sisi teknologi, perkembangan AI Tiongkok pun menimbulkan kekaguman dan kekhawatiran global. Huawei memperkenalkan CloudMatrix 384, chip komputasi AI generasi terbaru yang secara arsitektur mampu menyaingi Nvidia GB200. Strategi clustering dan efisiensi daya menjadi kunci dari pendekatan ini. Di sisi perangkat lunak, Baidu meluncurkan ERNIE 4.5 dan ERNIE X1, yang tersedia secara terbuka bagi publik, mencerminkan semangat "open innovation" dengan cita rasa nasionalis.
Namun, bintang sebenarnya dari lonjakan AI Tiongkok bukan hanya datang dari raksasa mapan, tetapi juga dari startup seperti DeepSeek dan Monica AI. DeepSeek-R1, sebuah model reasoning generatif, mengejutkan komunitas riset global karena kemampuannya menalar, menjawab, dan menyusun logika yang kompleks dengan akurasi tinggi. Sementara itu, agen AI bernama Manus---produk Monica AI---disebut sebagai salah satu agen otonom paling canggih yang mampu merencanakan dan menyelesaikan tugas tanpa supervisi manusia. Ironisnya, karena kekhawatiran atas regulasi dan pengawasan di Tiongkok, perusahaan pembuat Manus memutuskan memindahkan markas ke Singapura.
Meski pertumbuhan ini mencengangkan, pemerintah Tiongkok juga menunjukkan bahwa mereka tidak ingin terjebak pada "kekacauan AI" seperti yang dialami banyak negara. Pada Maret 2025, Cyberspace Administration of China (CAC) merilis aturan baru yang mewajibkan semua konten yang dihasilkan AI diberi label eksplisit maupun implisit. Label ini mencakup gambar, teks, suara, hingga video. Aturan yang mulai berlaku pada 1 September 2025 itu merupakan bagian dari upaya besar menjaga etika, keamanan, dan kepercayaan publik terhadap konten digital. Menyusul itu, pada 1 November nanti, akan diberlakukan juga standar nasional untuk keselamatan AI generatif yang mencakup kualitas data pelatihan, pengendalian risiko bias, dan transparansi sumber data.
Di ranah implementasi, AI Tiongkok juga makin nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di Shanghai, masyarakat kini dapat menyaksikan kehadiran petugas lalu lintas berbasis robot AI bernama Xiao Hu, yang mengatur kendaraan dengan suara dan isyarat tangan layaknya manusia. Inisiatif ini tak sekadar simbolik, tetapi bagian dari upaya serius untuk menjadikan kota-kota Tiongkok sebagai ekosistem cerdas yang efisien, aman, dan futuristik. Di bidang kesehatan, DeepSeek juga digunakan oleh rumah sakit kelas tiga untuk membantu menganalisis hasil radiologi dan memberikan dukungan keputusan klinis. Walaupun kecepatan implementasi ini mengagumkan, para ahli tetap menyoroti perlunya kejelasan tanggung jawab hukum atas keputusan medis berbasis AI.
Secara ekonomi, pemerintah juga memperkuat fondasi data sebagai bahan bakar utama AI. Dalam dorongan menuju ekonomi digital terintegrasi, Tiongkok meluncurkan 10 zona data nasional baru di berbagai provinsi seperti Zhejiang, Anhui, dan Beijing. Zona-zona ini ditargetkan menjadi pusat pengembangan teknologi, pusat penyimpanan data, dan tempat pelatihan model AI yang andal. Riset Gartner menyebut bahwa jika tren ini terus berlanjut, lebih dari separuh populasi Tiongkok akan menggunakan teknologi AI dalam kehidupan sehari-hari pada 2030.
Di panggung internasional, Tiongkok juga tidak tinggal diam. Dalam forum-forum seperti World Economic Forum, mereka mengusulkan pembentukan badan global pengatur AI dan menyusun rencana 13 poin untuk keselamatan dan etika AI internasional. Ini dipandang sebagai upaya membangun citra bahwa Tiongkok tak hanya mengejar teknologi, tetapi juga ingin memainkan peran kunci dalam membentuk tata kelola global AI. Upaya ini juga dapat dibaca sebagai respons atas tekanan AS dan bentuk diplomasi lunak untuk merebut simpati dari negara berkembang dalam kompetisi teknologi global.
Dengan semua langkah ini, Tiongkok tidak lagi sekadar menjadi "pengikut cepat" dalam revolusi AI global. Kini, mereka sedang mengukuhkan diri sebagai pemimpin yang menata ekosistem AI dari hulu ke hilir---mulai dari chip, data, model, aplikasi industri, hingga kebijakan internasional. Pertanyaannya bukan lagi apakah Tiongkok mampu mengejar Amerika Serikat, tetapi seberapa besar pengaruh Tiongkok dalam membentuk masa depan AI dunia.