Mohon tunggu...
Kak Memo
Kak Memo Mohon Tunggu... Kolumnis

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pacu Jalur dan Siapa yang Diuntungkan dari Keviralan Tradisi Ini

17 Juli 2025   21:23 Diperbarui: 17 Juli 2025   21:23 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan Pacu Jalur di Pinggiran Sungai (Sumber: Dokumen Pribadi)

 Pacu Jalur bukan sekadar lomba perahu panjang di sungai. Ia adalah denyut nadi budaya masyarakat Kuantan Singingi, Riau. Tradisi yang telah berusia lebih dari satu abad ini awalnya bermula sebagai bentuk syukuran masyarakat agraris atas panen padi yang melimpah. Dari masa ke masa, Pacu Jalur tumbuh menjadi ikon budaya yang membanggakan. Namun, di era digital sekarang, saat segalanya bisa viral dalam hitungan detik, muncul pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keviralan Pacu Jalur?

Pacu Jalur kini tidak hanya dinikmati oleh warga lokal. Video-videonya tersebar di TikTok, Instagram, dan YouTube. Dentuman beduk pembuka, sorak-sorai pendukung, dan deretan perahu yang bergerak lincah di atas Sungai Kuantan menarik perhatian netizen dari berbagai belahan dunia. Warganet yang sebelumnya tidak tahu-menahu soal Riau, kini menyebut-nyebut nama "Pacu Jalur" dengan rasa penasaran. Tradisi ini menjadi bahan konten yang menarik---spektakuler secara visual dan menyentuh secara budaya.

Namun, di balik gegap gempita keviralan, kita perlu bertanya secara jujur: siapa yang paling diuntungkan dari semua ini? Apakah masyarakat lokal Kuansing? Apakah pemerintah daerah? Atau justru para kreator konten yang menjadikannya sebagai sumber views dan likes?

Masyarakat Lokal: Antara Kebanggaan dan Tantangan

Sebagai pemilik tradisi, masyarakat Kuantan Singingi tentu patut berbangga. Tradisi mereka kini dikenal luas. Anak muda setempat mulai menaruh minat untuk terlibat sebagai pendayung, pelatih, pengrajin jalur (perahu), atau bahkan sebagai pendokumentasi acara. Dalam konteks ini, keviralan memberi dampak positif: membangkitkan rasa memiliki dan memperkuat identitas lokal.

Namun, tantangan tidak kecil. Popularitas Pacu Jalur membuat acara ini mengalami tekanan komersialisasi. Perubahan fungsi dari yang dulunya berbasis ritual kini menjadi tontonan massal yang dituntut "layak jual". Sponsor besar masuk, media datang dengan kru lengkap, dan event ini mulai dikemas layaknya festival hiburan modern. Apakah masyarakat lokal tetap menjadi pelaku utama? Ataukah mereka mulai terdorong ke pinggiran oleh pihak-pihak yang datang dengan kapital dan agenda luar?

Seringkali masyarakat lokal hanya menjadi "pemandu sorak" dalam acara yang dulunya milik mereka. Pendapatan dari tiket, parkir, konsumsi, dan merchandise seringkali tidak merata. Ada segelintir orang yang bisa memanfaatkan momen ini untuk berjualan atau menyewakan rumah sebagai homestay, tetapi sebagian lainnya tetap terpinggirkan.

Pemerintah Daerah: Diuntungkan Secara Politik dan Pariwisata

Pemerintah daerah tentu mendapat keuntungan yang signifikan dari keviralan Pacu Jalur. Mereka dapat menggunakan popularitas tradisi ini sebagai alat promosi wisata. Masuknya wisatawan, baik lokal maupun internasional, berarti bertambahnya pendapatan daerah, baik dari sektor transportasi, penginapan, maupun makanan. Dana-dana pariwisata dari pusat pun mengalir dengan lebih deras saat suatu event terbukti sukses secara viral.

Tidak hanya keuntungan ekonomi, namun juga keuntungan politis. Kepala daerah yang mampu mengangkat budaya lokal ke panggung nasional bahkan internasional akan dipandang sebagai pemimpin yang visioner. Ini menjadi modal politik yang tidak sedikit. Dalam banyak kasus, pelaksanaan Pacu Jalur dijadikan momentum untuk menunjukkan kinerja, mempromosikan citra kepemimpinan, dan bahkan sebagai bagian dari agenda kampanye terselubung.

Namun, perlu kehati-hatian. Jangan sampai pemerintah daerah hanya fokus pada aspek selebrasi, sementara akar budaya dan nilai-nilai luhur dari tradisi ini ditinggalkan. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kemurnian budaya, bukan sekadar menjualnya sebagai atraksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun