Ramadan selalu punya tempat spesial dalam hidup saya. Bukan hanya karena kewajiban ibadahnya, tapi karena suasana yang berubah begitu drastis dibanding bulan-bulan lainnya.Â
Ada nuansa tenang, ada refleksi yang lebih dalam, dan ada ritme hidup yang berbeda. Ramadan seperti memberi ruang untuk melihat hidup dari sudut yang lebih jernih, tanpa distraksi yang biasanya datang dari kesibukan duniawi.
Setiap hari di bulan Ramadan dimulai lebih awal dari biasanya. Bangun sebelum subuh, menyiapkan sahur, dan menikmati momen sepi yang terasa damai. Awalnya memang berat, terutama di hari-hari pertama, saat tubuh masih beradaptasi dengan pola makan yang berubah. Tapi setelah beberapa hari, sahur justru menjadi waktu yang saya tunggu-tunggu. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesunyian dini hari, di mana suara-suara dunia masih tertidur, tapi justru saat itu, hati terasa lebih hidup. Makan sahur bukan sekadar mengisi energi untuk bertahan seharian, tapi juga momen mempersiapkan diri secara mental dan spiritual sebelum menghadapi hari.
Setelah subuh, dunia perlahan mulai terjaga. Saya selalu mencoba untuk tidak kembali tidur setelah sholat subuh, meskipun godaannya besar. Duduk sejenak, berdzikir, atau membaca beberapa ayat Al-Qur’an menjadi ritual yang menenangkan. Ramadan memang punya cara untuk membuat saya lebih sadar akan waktu. Kalau di bulan lain, pagi terasa seperti rutinitas yang berjalan otomatis, di bulan Ramadan setiap detik terasa lebih bermakna. Seolah ada kesadaran bahwa waktu ini tak akan datang dua kali, dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Siang hari di bulan Ramadan punya tantangannya sendiri. Biasanya di waktu-waktu ini, energi mulai menurun, terutama saat matahari mulai terik. Tetapi yang menarik, justru di bulan Ramadan saya merasa lebih fokus dalam bekerja atau beraktivitas. Tidak ada distraksi mencari camilan atau memikirkan makan siang, sehingga waktu terasa lebih efisien. Selain itu, ada perasaan bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi juga menahan diri dari hal-hal yang sia-sia. Rasanya lebih mudah mengendalikan emosi, lebih mudah menahan diri dari komentar-komentar yang tidak perlu, dan lebih sadar akan setiap tindakan yang dilakukan.
Menjelang sore, perasaan mulai bercampur. Ada lelah yang mulai terasa, ada sedikit rasa kantuk, tapi juga ada antisipasi karena sebentar lagi berbuka. Ini adalah waktu yang tepat untuk sedikit menenangkan diri, menjauh dari kesibukan, dan kembali fokus pada ibadah. Sholat ashar menjadi pengingat bahwa waktu berbuka sudah semakin dekat, dan biasanya setelah itu saya lebih memilih untuk membaca Al-Qur’an atau sekadar duduk dalam refleksi. Banyak yang bilang bahwa waktu menjelang berbuka adalah salah satu waktu terbaik untuk berdoa, dan saya selalu mencoba untuk menggunakannya sebaik mungkin.
Lalu, tibalah momen yang paling dinanti—berbuka puasa. Suasana saat mendengar azan maghrib berkumandang setelah seharian menahan lapar dan haus selalu menghadirkan rasa syukur yang luar biasa. Segelas air putih yang biasanya terasa biasa saja, tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat berharga. Kurma yang sederhana terasa lebih nikmat dari makanan mahal mana pun. Ini adalah pengingat bahwa banyak hal dalam hidup yang sering kita anggap remeh, padahal begitu penting. Saat berbuka, saya merasakan betapa sederhananya kebahagiaan, dan betapa banyak hal kecil yang sebenarnya bisa membuat kita bersyukur setiap hari.
Namun, Ramadan tidak berhenti di situ. Setelah maghrib, ada sholat isya dan tarawih yang menjadikan malam Ramadan begitu istimewa. Ini adalah waktu di mana masjid-masjid penuh dengan jamaah yang ingin merasakan kebersamaan dalam ibadah. Ada kedamaian yang sulit dijelaskan ketika berdiri dalam shaf, mendengarkan ayat-ayat suci dilantunkan, dan merasakan energi spiritual yang kuat. Tarawih bukan hanya soal jumlah rakaat, tapi soal bagaimana kita benar-benar menikmati momen itu sebagai bentuk komunikasi dengan Allah. Setelahnya, biasanya saya mencoba untuk membaca Al-Qur’an atau sekadar merenung tentang banyak hal. Ramadan selalu punya cara untuk membuat saya lebih banyak berpikir tentang hidup, tentang diri sendiri, dan tentang apa yang sebenarnya saya kejar.
Malam Ramadan diakhiri dengan tidur yang cukup untuk kembali bersiap menghadapi hari esok. Dan begitu siklus ini berjalan selama sebulan, tanpa disadari, Ramadan selalu berhasil membentuk kebiasaan-kebiasaan baik yang seharusnya bisa dibawa ke bulan-bulan berikutnya. Tapi kenyataannya, setelah Ramadan berlalu, banyak dari kita yang kembali pada kebiasaan lama. Itu sebabnya, Ramadan selalu terasa begitu spesial—karena ia datang sebagai pengingat bahwa kita bisa menjadi lebih baik, lebih disiplin, lebih sabar, dan lebih bersyukur.
Bagi saya, Ramadan bukan hanya soal puasa, bukan hanya soal menahan lapar dan haus. Ramadan adalah perjalanan menemukan diri sendiri, perjalanan untuk lebih memahami makna syukur, dan perjalanan untuk kembali dekat dengan Tuhan. Setiap tahunnya, Ramadan datang seperti tamu istimewa yang membawa ketenangan dan kesadaran baru. Dan setiap tahunnya, saya berharap bisa mengambil sebanyak mungkin pelajaran darinya, agar kebaikan yang ditanam selama bulan suci ini tidak hilang begitu saja setelah ia pergi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI