Di era digital saat ini, fenomena influencer telah mengubah cara kita melihat konsumsi. Mereka bukan hanya selebritas media sosial, tetapi juga agen pemasaran yang efektif, mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat.Â
Melalui unggahan, video, dan cerita, influencer memperkenalkan produk atau gaya hidup yang mereka promosikan, dengan cara yang terasa alami dan tak terpaksa. Inilah yang menjadikan mereka sangat efektif dalam membentuk keinginan dan preferensi pasar, di balik aura keindahan dan kemewahan yang mereka tampilkan.
Fenomena influencer sebenarnya lebih dari sekadar tentang popularitas individu di media sosial. Mereka menjadi penghubung antara perusahaan dan konsumen, memperkenalkan produk sebagai simbol status atau gaya hidup, bukan sekadar barang konsumsi.
Produk yang dijual melalui influencer sering kali terkesan lebih dari sekadar benda; ia menjadi lambang status sosial yang harus dimiliki untuk dianggap relevan dalam masyarakat. Tanpa disadari, masyarakat terjebak dalam pola konsumsi yang tidak hanya berdasarkan kebutuhan, tetapi lebih kepada pencarian pengakuan sosial.
Dalam hal ini, kapitalisme bekerja dengan sangat efisien, mengubah keinginan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Setiap produk yang ditawarkan bukan hanya soal fungsi, tetapi lebih kepada bagaimana produk tersebut mampu menambah citra diri.
Ini menciptakan paradoks, di mana individu merasa harus mengikuti tren dan mengadopsi gaya hidup tertentu hanya untuk merasa diterima atau sukses, meskipun seringkali hal itu bukanlah kebutuhan mendalam mereka. Influencer, dengan jumlah pengikut yang masif, memiliki kekuatan untuk memengaruhi persepsi dan mengarahkan pasar tanpa disadari oleh pengikut mereka.
Perusahaan sadar bahwa iklan konvensional kurang efektif dalam menarik perhatian generasi milenial dan Gen Z. Oleh karena itu, mereka beralih kepada influencer yang lebih bisa menjangkau audiens secara langsung dan personal. Hal ini menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan: influencer mendapatkan penghasilan dari promosi, sementara perusahaan mendapat eksposur yang besar. Fenomena ini adalah bukti nyata dari bagaimana kapitalisme telah memasuki dunia digital, dengan influencer sebagai kendaraan untuk memperkenalkan produk dan membentuk permintaan pasar.
Namun, meskipun banyak orang menganggap fenomena ini sebagai kebebasan dalam memilih gaya hidup, kenyataannya tidak demikian. Keinginan untuk mengikuti tren dan membeli barang yang dianggap diperlukan untuk tampil sempurna sering kali menciptakan tekanan psikologis.
Konsumsi tidak lagi berkaitan dengan kebutuhan, tetapi dengan pencapaian status sosial. Terkadang, orang merasa bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memiliki produk tertentu yang diiklankan oleh influencer, tanpa menyadari bahwa ini adalah bagian dari siklus konsumsi yang dibuat oleh kapitalisme.
Di balik kemewahan yang dipamerkan, kapitalisme bekerja dengan cara yang lebih halus. Produk dan gaya hidup yang ditawarkan oleh influencer sering kali dikemas dalam narasi estetika yang menarik, mengaburkan fakta bahwa ini adalah bentuk pemasaran yang sangat terencana.