Kerja remote, katanya, adalah masa depan dunia kerja. Para pekerja tak perlu lagi terjebak macet, bisa kerja dari rumah sambil pakai piyama, dan lebih produktif tanpa gangguan rekan kerja yang hobi ngobrol. Ah, betapa indahnya hidup!
Tapi tunggu dulu. Di balik kebebasan ini, ada fenomena menarik: perusahaan-perusahaan yang dulu mati-matian menerapkan remote, kini pelan-pelan menarik kembali karyawannya ke kantor. Rupanya, kebebasan itu seperti utang pinjol—nikmat di awal, tapi lama-lama bikin pusing.
Para bos perusahaan teknologi dulu membanggakan betapa karyawan lebih produktif saat bekerja dari rumah. Data Zoom, Slack, dan Google Meet meroket, membuktikan bahwa semua orang ‘terhubung’ sepanjang waktu. Tapi anehnya, saat ekonomi mulai goyah, perusahaan yang sama mulai curiga: apakah karyawan benar-benar bekerja atau sekadar ‘online’ di jam kerja?
Dan di sinilah muncul ‘perang dingin’ antara atasan dan bawahan. Karyawan bersumpah mereka bekerja lebih keras dari sebelumnya. Sementara itu, bos mulai menerapkan teknologi baru: pelacak aktivitas, screenshot otomatis, bahkan menghitung jumlah klik di keyboard! Seakan-akan, bekerja dari rumah berubah menjadi reality show di mana setiap gerakan diamati.
Tak heran, banyak perusahaan kini meminta karyawan kembali ke kantor dengan dalih ‘kolaborasi lebih efektif’. Yang mereka tak bilang adalah: mereka lebih nyaman melihat karyawan duduk di depan meja daripada hanya melihat status online di Teams.
Dulu, janji manis kerja remote adalah keseimbangan hidup. Bisa kerja sambil ngurus anak, bisa olahraga di tengah hari, dan tak perlu buang waktu di perjalanan. Tapi realitanya? Banyak pekerja remote merasa seperti buruh pabrik digital yang harus selalu tersedia.
Jam kerja yang fleksibel berubah jadi ‘jam kerja tanpa batas’. Notifikasi Slack berbunyi tengah malam, email harus dibalas di akhir pekan, dan meeting online bisa terjadi kapan saja karena “kan kamu di rumah aja”. Bahkan, bagi beberapa orang, rumah bukan lagi tempat istirahat, tapi kantor yang tak pernah tutup.
Jadi, apakah remote benar-benar membuat hidup lebih seimbang? Atau justru menghilangkan batas antara kerja dan kehidupan pribadi?
Jujur saja, tak ada yang benar-benar merindukan kantor. Siapa yang kangen dengan AC super dingin, meeting tak berguna, atau kolega yang selalu curhat tentang masalah pribadi? Tapi di sisi lain, kantor juga menyediakan sesuatu yang sulit didapat dari rumah: interaksi manusia.
Ternyata, banyak orang menyadari bahwa bekerja dari rumah terlalu sepi. Tak ada lagi obrolan santai di pantry, tak ada rekan kerja yang bisa diajak makan siang, dan yang paling penting—tak ada pemisah jelas antara ‘kerja’ dan ‘hidup’.