Mohon tunggu...
Tulus Hasudungan Pardosi
Tulus Hasudungan Pardosi Mohon Tunggu... Profesional -

"Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Hanya orang Biasa yang diberikan Tuhan kesempatan dan pengalaman Luar Biasa."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPK Vs Pencucian Uang dan Pelanggaran Undang-undang

9 Mei 2012   20:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 4435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPK Vs. Pencucian Uang dan Pelanggaran Undang-undang

Oleh: Tulus H Pardosi

Kasus Korupsi dan Suap Wisma Atlet yang melibatkan nama Mantan Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Nama Mantan Putri Indonesia ini pun semakin santer terdengar sejak Penetapan status Tersangka pada dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak spekulasi dan Pro Kontra yang muncul seputar penetapan status Tersangka Angelina Sondakh hingga rencana akan dilakukannya Justice Collaborator oleh KPK. Untuk masalah ini, saya sudah pernah membahas di tulisan saya sebelumnya yang berjudul: “KPK: Lembaga Superbody / Superbodong?”

Baca: http://hukum.kompasiana.com/2012/05/06/kpk-lembaga-superbodysuperbodong/

Belum lepas dari Kontroversi ini, rupanya KPK akan membuat terobosan baru dalam Kasus ini yaitu dengan memasukkan Pasal Pencucian Uang dalam 1 pemberkasan yang sama guna “membongkar” siapa-siapa saja yang terlibat dalam perkara ini. Hal ini pun didukung oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) dan juga Pakar Pencucian Uang, Yenti Ganarsih.

Secara awam, hal ini mungkin dinilai tepat. Dengan menggunakan Rezim “Follow the money”, para penyidik juga akan dapat “follow the suspects” yang pastinya akan membuka seluruh mata rantai dan misteri dalam kasus ini. Saya mendukung langkah ini karena dengan demikian kita akan segera tahu siapa-siapa saja yang terlibat dalam perkara ini. Namun, apakah langkah ini sudah menggunakan landasan yuridis formal yang tepat dan tidak menyalahi Tata aturan perundang-undangan? Apakah memang tidak ada penyelundupan hukum dalam penerapan langkah ini? Mari kita coba bahas satu per satu.

DASAR BEKERJANYA KPK

Sebelumnya, mari kita melihat kita melihat Penjabaran di bawah ini:


  • Dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Poin (C).

“Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.”


  • Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

(1). Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


  • Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2002:

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.


  • Pasal 6 poin C UU No. 30 Tahun 2002:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

(c). melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;


  • Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 2002:

(1.) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.


  • Pasal 39 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002

(1.) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

·Dasar bekerjanya KPK adalah:

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002; Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999; Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001; dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

·Bahwa dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dikatakan KPK dibentuk untuk menangani Tindak Pidana Korupsi mulai dari Penyelidikan, Penyidikan, maupun Penuntutan. Dan TIDAK ADA penyebutan mengenai kewenangan KPK dalam menangani Tindak Pidana Pencucian Uang.

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Bagi sebagian besar pihak, kesimpulan di atas MUNGKIN dapat terbantahkan dengan hadirnya Pasal74 dan Pasal 75 di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai berikut:

·Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010

Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.

·Pasal 75 UU No. 8 Tahun 2010

Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.

Berdasarkan Pasal 74 dan Pasal 75 di atas, maka KPK sebagai Penyidik Tindak Pidana Asal (dalam hal ini Korupsi), dapat menggabungkan berkas perkara penyidikan bersama dengan Tindak Pidana Lanjutan yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang.

TAPI, jangan dulu kita menyimpulkan. Sebelumnya, mari lihat dasar pertimbangan dari pembentukan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Poin (C) :

Menimbang: (c). bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;

Dalam pertimbangan di atas, tidak ada 1 pun Undang-undang mengenai Korupsi maupun Tindak Pidana asal lainnya yang disebut sebagai dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, di dalam dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak ditemukan ketentuan Undang-undang mengenai Korupsi maupun Tindak Pidana Asal lainnya dalam pembentukan Undang-undang tersebut. Yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 HANYALAH Pencucian Uang, tidak ada yang lain. Di situ juga tidak dikatakan mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi.

JIKA di dalam dasar pertimbangan pembentukan suatu Undang-undang, tidak disinggung mengenai hal yang akan diatur, lalu tiba-tiba hal itu diatur dalam Pasal, Bukankah itu dinamakan Pasal Siluman? Lalu, bagaimana Pasal 74 dan Pasal 75 bisa muncul di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, sementara tidak menjadi dasar hukum pembentukan Undang-undang tersebut?

UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Sebagaimana namanya, Undang-undang ini pastilah Undang-undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Korupsi, mulai dari pembentukannya, Hakim yang mengadili, hingga hukum acaranya. Dan nampaknya, Undang-undang ini bisa menjadi Angin segar bagi pihak-pihak yang tetap menginginkan KPK menggunakan Pasal Pencucian Uang dalam penyidikannya, yang walaupun sudah terbentur penjabaran-penjabaran di atas.

Mari kita lihat ketentuan berikut:

Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009:

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

Pasal 6 UU No. 46 Tahun 2009:

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:

a.Tindak Pidana Korupsi;

b.tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

c.tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Pasal 6 poin (b) di atas MUNGKIN merupakan Angin segar bagi KPK dalam merangkai Pencucian Uang ke dalam 1 berkas Korupsi. Namun, jika kita melihat pada Pasal 5, terjadi KEANEHAN.

Pada Pasal 5 Dikatakan Bahwa “Pengadilan TIPIKOR adalah satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.” TIDAK DISEBUTKAN bahwa “Pengadilan TIPIKOR adalah satu-satunya Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.”

Hal di atas bukankah menunjukkan telah terjadi penyelundupan hukum di dalam Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009?

Kemudian, melihat nama dari Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 adalah Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsidan BUKAN Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi.

Bukan bermaksud kaku, tapi hal ini sebagai ciri dari bahasa perundang-undangan, dengan ciri utama:

(1)Bebas dari emosi.

(2)Tanpa perasaan dan

(3)Datar seperti rumusan matematik.

Jadi, diharapkan suatu undang-undang tidak akan multi tafsir.

Selain itu, Tindak Pidana Pencucian Uang maupun Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang TIDAK masuk menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pembentukan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 ini.

KESIMPULAN

Berdasar uraian-uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

·Bagaimana mungkin KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang PADAHAL Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TIDAK mengakomodir itu?

·Bagaimana mungkin Pasal 74 dan Pasal 75 di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dapat tetap menjadi dasar KPK (dalam hal ini penyidik Tindak pidana asal: Korupsi) dalam melakukan pemeriksaan dan penggabungan perkara terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang?

Dalam hal ini, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 BUKANLAH Lex Specialis dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 maupun Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai hubungan Umum => Khusus dengan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana dimaksud Asas Lex Specialis Derogat Lex Generallis (cth: UU Tipikor merupakan Lex Specialis dari Korupsi dalam KUHP).

·Bagaimana mungkin Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dapat mengakomodir Tindak Pidana Pencucian Uang, walaupun Tindak Pidana asalnya adalah Tindak Korupsi?

Dalam hal ini, Undang-undang Pengadilan TIPIKOR jelas-jelas merujuk kepada Undang-undang TIPIKOR dan TIDAK ADA Ketentuan yang merujuk pada UU No. 15 Tahun 2002 / UU No. 25 Tahun 2003 (karena UU Pengadilan TIPIKOR dibuat pada Tahun 2009, sehingga Tidak mungkin dicontohkan dengan UU No. 8 Tahun 2010) .

·Bagaimana Pasal-pasal dan huruf-huruf “Siluman” dapat muncul di dalam Pasal 74 & 75 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Pasal 6 huruf (b) Undang-undang Nomo 46 Tahun 2009?

Hal ini jelas telah melanggar Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik ini dirumuskan  dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

1.Kejelasan tujuan;

2.Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3.Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4.Dapat dilaksanakan;

5.Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6.Kejelasan rumusan; dan

7.Keterbukaan.

Ada 3 hal yang akan saya bahas.

Pertama, Asas Kejelasan Tujuan. Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Bagaimana suatu Undang-undang dapat mempunyai kejelasan tujuan jika terdapat Pasal-pasal “Siluman” di dalamnya?

Kedua, Asas Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.

Melalui asas ini saya ingin mengatakan bahwa apabila jenis Undang-undangnya adalah Undang-undang Korupsi, maka jangan mencampuradukkan dengan ketentuan pelanggaran lain.

Ketiga, Asas kejelasan rumusan.Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Hal ini, mungkin sudah dapat langsung dimengerti oleh para pembaca sekalian.

SOLUSI

Jika memang KPK masih ingin melakukan penjeratan terhadap para tersangka pelaku Korupsi dengan ikut menggunakan ketentuan mengenai Pencucian Uang, maka ada beberapa Solusi yang dapat dilakukan:

·Merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, agar memasukkan Tugas dan wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi.

·Merevisi Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 dengan Menambah ketentuan dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang tersebut, LALU mengganti judul Undang-undang tersebut menjadi “Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi”, DAN merevisi Pasal 5 menjadi: “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya adalah Tindak Pidana Korupsi”

·ATAU Solusi yang termudah adalah BEKERJA SAMA dengan POLRI dan KEJAKSAAN AGUNG dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Bukankah ada Perjanjian kerja sama 5 (lima) instansi antara KPK, PPATK, POLRI, KEJAKSAAN AGUNG, dan LPSK? Selain itu, hanya POLRI yang memiliki kewenangan luas dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan baik di dalam KUHAP maupun Undang-undang yang bersifat khusus.

Dalam hal ini, tidak masalah apabila dalam 1 Tersangka, KPK melakukan Pemeriksaan TIPIKOR-nya dan POLRI beserta KEJAGUNG melakukan pemeriksaan TPPUnya. Lalu semuanya melaporkan dan kembali mendapat informasi dari PPATK.

Hal ini dapat membentuk sinergi yang bagus dalam penyelesaian Tindak Pidana Korupsi maupun TPPU di Indonesia dan TENTUNYA dengan cara yang TIDAK melanggar Konstitusi.

BAHAN-BAHAN:

1.Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

2.Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4.Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

5.Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

6.Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

7.Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga:

http://hukum.kompasiana.com/2012/05/06/kpk-lembaga-superbodysuperbodong/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun