Saya masih ingat satu kejadian kecil waktu kuliah di Jakarta.
Seorang teman bertanya, "Asal lo dari mana?"
Saya jawab, "Nias."
Ia menatap sebentar, lalu berkata polos, "Oh, berarti deket Filipina dong?"
Dalam hati saya menjerit (separuh kesal, separuh heran), "Goblok."
Tapi mulut saya hanya sempat tersenyum tipis dan menjawab, "Itu mah Miangas."
Teman saya tertawa, mengira itu lelucon.
Padahal saya serius.
Miangas itu pulau paling utara Indonesia, di ujung Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Filipina.
Sementara Nias? Ia berada di sisi seberang, di barat Sumatra, jauh dari perbatasan utara.
Dua titik yang begitu jauh di peta, tapi di kepala sebagian anak muda Indonesia, mungkin sama saja: sama-sama "entah di mana".
Dunia yang Mengecil, tapi Pengetahuan yang Mengecil Juga
Ironinya, kita hidup di zaman yang katanya tanpa batas.
Peta ada di genggaman, lewat Google Maps dan satelit,
tapi entah mengapa pengetahuan geografis kita justru makin menyusut.
Anak-anak sekarang bisa menemukan alamat restoran di New York,
tapi tidak tahu di mana letak Pulau Alor, Halmahera, atau Sumba.
Padahal dulu, di ruang-ruang kelas sederhana, ada satu benda yang selalu tergantung di dinding: peta Indonesia.
Peta itu diam, tapi mengajarkan banyak hal:
tentang luasnya tanah air,
tentang betapa kecilnya kita di tengah lautan pulau-pulau,
dan tentang kesadaran sederhana: bahwa kita hidup di negeri yang besar, bukan cuma di kota tempat kita tumbuh.
Sekarang, dinding kelas kita bersih dan kosong.
Yang tersisa hanyalah layar proyektor dan sinyal WiFi.
Peta sudah digantikan slide PowerPoint,
dan rasa ingin tahu digantikan scroll TikTok.
Ruang Kelas yang Kehilangan Arah
Saya sering berpikir, hilangnya peta dari ruang kelas bukan sekadar soal benda.
Ia adalah simbol: kita kehilangan arah pandang terhadap dunia dan diri sendiri.
Dulu, ketika guru menunjuk Sabang dan Merauke, kita tahu batas negeri ini.
Kita tahu bahwa Indonesia tidak hanya Jakarta, Bandung, atau Surabaya,
tapi juga pulau-pulau kecil yang menahan angin di ujung laut.