Bahasa adalah napas dari sebuah kebudayaan. Ia bukan sekadar alat untuk mengucap kata, tetapi sebuah jendela yang menghubungkan kita dengan sejarah, adat, dan cara pandang leluhur.Â
Sayangnya, jendela itu satu per satu mulai tertutup. Di banyak daerah, bahasa ibu kian jarang terdengar di rumah-rumah, bahkan di kampung halamannya sendiri.Â
Anak-anak tumbuh dengan bahasa asing di sekolah, bahasa gaul di media sosial, dan perlahan melupakan bahasa nenek moyang mereka.
Saya sering mendengar keluhan, "Kalau sekarang saja anak-anak tidak paham bahasa daerah, bagaimana nasibnya 20 tahun lagi?"
Itu membuat saya berpikir serius. Sebagai orang tua, saya punya tanggung jawab. Kalau saya biarkan anak saya kehilangan bahasa leluhur, berarti saya ikut memutus rantai sejarah keluarga. Dan itu bukan hal yang bisa saya terima.
Karena itulah saya memutuskan: anak saya harus menguasai empat bahasa, bukan hanya untuk pandai berbicara, tetapi untuk punya akar, identitas, dan sayap.
Bahasa Pertama: Nias, Warisan dari Ayahnya
Saya adalah orang Nias. Pulau kami di barat Sumatra memiliki bahasa yang kaya dengan metafora dan irama khas.
Bahasa Nias bukan hanya soal kosakata, tapi juga cara berpikir. Ketika orang Nias berkata "Ya'ahowu" (salam sejahtera), di situ terkandung doa, harapan, dan rasa hormat.
Saya ingin anak saya mengenal Nias bukan dari buku pelajaran, tapi dari lidahnya sendiri. Supaya ketika kelak ia bertemu keluarga besar di kampung, ia tak merasa seperti tamu asing di tanah leluhurnya.Â
Supaya ketika ia mendengar kisah perang, laut, dan adat dari kakeknya, ia memahami setiap kata tanpa penerjemah.