Kita bisa mencintai dengan kata-kata, dengan pelukan, dengan doa. Tapi dalam keseharian, cinta juga bisa hadir dalam bentuk biaya listrik yang dibayarkan, beras yang dikirim tiap bulan, atau amplop kecil di akhir pekan yang diselipkan ke tangan ibu dan ayah.
Beberapa orang merasa risih dengan gagasan memberi uang kepada orangtua. "Nanti orangtua merasa tidak dihargai secara batin," begitu alasan yang kadang muncul.
Tapi saya melihatnya begini: memberi uang bukan berarti menggaji mereka. Bukan pula bentuk pamer. Justru sebaliknya, itu cara kita menyambung kasih.
Sebentuk ucapan, "Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Ibu. Aku ingin kalian tidak kekurangan. Setidaknya, tidak karena aku."
Ada yang berkata, "Orangtua saya tidak butuh uang. Mereka masih punya penghasilan." Tapi soal ini bukan sekadar kebutuhan. Ini soal peran kita yang berubah.
Dulu kita ditopang, kini saatnya menopang. Dulu kita disuapi, kini waktunya memberi makan. Dan ini bukan berarti mereka tak mampu, tapi karena kita ingin berperan.
Saya pernah berbincang dengan seorang pasangan muda. Mereka belum punya anak, tapi rutin menyisihkan sebagian penghasilan untuk kedua orangtua mereka.
Bukan karena orangtua mereka miskin. Tapi karena mereka merasa, sebelum menjadi orangtua bagi anak mereka kelak, mereka ingin selesai dulu sebagai anak. "Kalau nanti anak kami melihat bagaimana kami memperlakukan orangtua, mereka akan belajar cara memperlakukan kami," kata si istri.
Kalimat itu membekas di hati saya.
Dalam hidup, tak semua hal bisa ditunda. Kita bisa menunggu waktu yang tepat untuk menikah, membeli rumah, atau berganti karier. Tapi untuk mencintai orangtua, dalam bentuk yang konkret, waktu yang tepat itu selalu sekarang. Tidak harus besar. Tidak harus rutin mingguan. Tapi harus hadir.
Saya tidak sedang berkata bahwa semua orang wajib memberi uang ke orangtuanya.