Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

AI, Konten Palsu, dan Kebenaran yang Terancam

28 Mei 2025   21:31 Diperbarui: 28 Mei 2025   21:31 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi manusia dan kecerdasan buatan (openai.com)

Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini melaju sangat pesat. Teknologi yang memungkinkan pembuatan foto, video, dan suara palsu yang sangat realistis ini membawa berbagai manfaat. Namun, di balik euforia itu, tersimpan ancaman serius bagi kebenaran, kepercayaan, dan keamanan masyarakat.

AI generatif telah mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi informasi. Dengan teknologi ini, siapa pun bisa membuat video atau foto yang tampak nyata, namun sepenuhnya palsu. Ini bukan sekadar soal rekayasa biasa, melainkan bentuk kebohongan yang sulit dibedakan dari kenyataan.

Siapa yang paling rentan menjadi korban? Kelompok yang selama ini sudah berada di garis pinggir: anak-anak, perempuan, masyarakat awam, dan para aktivis. Anak-anak dan remaja sering menjadi sasaran bullying digital. Wajah mereka disalahgunakan dalam video tak senonoh yang beredar luas di media sosial, menghancurkan reputasi dan mental mereka sebelum usia dewasa.

Perempuan pun menjadi target utama deepfake pornografi. Ratusan kasus sudah terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Wajah mereka tanpa izin ditempelkan ke video cabul, dan dampaknya bukan hanya trauma psikologis, tetapi juga rusaknya nama baik yang sulit dipulihkan.

Masyarakat umum juga terdampak disinformasi berbasis AI. Video palsu yang tampak meyakinkan kerap digunakan untuk menyebar kebencian, menebar propaganda, bahkan memicu konflik sosial. Dengan tingkat literasi digital yang rendah, banyak orang terjebak dalam pusaran kebohongan digital.

Yang lebih mengkhawatirkan, para jurnalis, aktivis, dan pembela hak asasi manusia juga rentan menjadi sasaran fitnah berbasis deepfake. Mereka bisa didiskreditkan dengan video rekayasa yang tampak seperti bukti nyata. Ketika realitas bisa dimanipulasi begitu mudah, siapa pun bisa menjadi korban.

Krisis ini bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal moral dan sosial. Fakta yang menjadi fondasi pengadilan, media, dan demokrasi kini mulai goyah. Masyarakat menjadi skeptis terhadap semua informasi, dan memilih narasi yang sesuai selera daripada kebenaran. Krisis epistemik ini membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Sayangnya, kemajuan teknologi AI berjalan jauh lebih cepat daripada regulasi dan kesadaran publik. Banyak perusahaan teknologi lebih sibuk memamerkan kemampuan AI menciptakan konten, dibandingkan mengembangkan alat pendeteksi dan perlindungan terhadap penyalahgunaan. Regulasi di banyak negara belum mampu mengatur dan menjerat penyebar konten palsu secara efektif.

Untuk itu, perlu langkah nyata yang tidak bisa ditunda:

Pertama, regulasi ketat wajib diberlakukan. Semua konten yang dihasilkan AI harus memiliki tanda digital (watermark) yang tidak bisa dihapus. Penyebaran konten palsu yang merugikan harus masuk dalam kategori kejahatan digital berat, dengan sanksi hukum tegas bagi pelaku.

Kedua, perusahaan pengembang AI harus bertanggung jawab. Mereka wajib menyediakan teknologi deteksi dan transparansi penggunaan AI agar masyarakat dapat membedakan konten asli dan palsu.

Ketiga, literasi digital harus menjadi prioritas nasional. Pendidikan yang mengajarkan kemampuan mengenali konten manipulatif harus dimulai sejak dini, sehingga masyarakat tidak mudah terjebak hoaks dan propaganda.

Isu ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi tantangan moral dan kemanusiaan. Jika kita membiarkan kebenaran dikalahkan oleh kemudahan membuat kebohongan, maka integritas sosial dan demokrasi akan hancur. AI bukan musuh, tetapi penggunaannya tanpa etika akan merusak fondasi masyarakat.

Masa depan kita bergantung pada bagaimana kita mengelola teknologi ini hari ini. Jangan biarkan mesin mengambil alih kebenaran dan nurani manusia. Karena jika kita membiarkan kebohongan menjadi norma, maka yang akan kita wariskan adalah dunia tanpa keadilan dan tanpa kepercayaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun