Indonesia dikenal tidak hanya sebagai negara maritim namun juga agraris. Kekayaan alam Indonesia bukan cuma terdapat di lautan tapi juga di daratan. Artinya dua potensi kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan tersebut sudah seharusnya dimanfaatkan secara maksimal untuk kemakmuran seluruh rakyat. Siapa yang bertanggungjawab melakukan itu, ya semua pihak, mulai dari masyarakat, para pelaku usaha hingga pemerintah.
Oleh sebab itu, ketika akhirnya tercipta sebuah lagu yang berjudul "Nenek Moyangku Seorang Pelaut", mestinya diciptakan juga lagu lain dengan judul "Nenek Moyangku Seorang Petani". Betul, tidak?
Namun apalah arti sebuah lagu jika sekadar dinyanyikan namun tidak sampai dihayati. Apalah arti sebuah kebanggaan karena punya kekayaan alam melimpah bila akhirnya tidak pula dikelola dengan baik.
Pembahasan tentang pemanfaatan kekayaan alam di bidang kelautan kita sisihkan sementara. Mari kita fokus pada pembahasan bidang agraria, khususnya terkait pengelolaan lahan pertanian.
Kita tahu bahwa optimalisasi produktivitas di sektor pertanian membawa manfaat di banyak kepentingan, antara lain untuk ketersediaan suplai kebutuhan pokok, mewujudkan kedaulatan pangan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi keperluan lapangan kerja, menjaga pemasukan devisa negara, dan sebagainya.
Menurut data Badan Pusat Statistik pada Triwulan II 2018, sektor pertanian telah berhasil menambah laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yakni mencapai 13,63 persen, di mana PDB Indonesia sebesar Rp14.837,4 triliun. Artinya sektor pertanian merupakan salah satu kekuatan besar dalam menopang perekonomian nasional.
Meskipun capaian sektor pertanian saat ini terbilang cerah, bukan berarti ke depan hal-hal negatif tidak mungkin terjadi. Kita harus tetap waspada supaya capaian yang ada tidak berbalik menjadi buruk. Salah satu penyebabnya hal tersebut sangat mungkin terjadi adalah fakta bahwa dari tahun ke tahun ternyata jumlah petani kita terus mengalami penurunan. Selama sepuluh tahun terakhir, prosentase rata-rata penurunannya mencapai 1 persen.
Ada beberapa faktor mengapa generasi muda tidak berminat berwirausaha tani, misalnya minimnya arahan atau motivasi dari orangtua (petani), Â dinilai kurang menjanjikan dan tidak ada jenjang karir, rentan gagal, dianggap identik dengan profesi orang miskin desa, dan sebagainya.
Sedikit membahas tentang peranan orangtua dalam mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi seorang petani. Harus diakui bahwa mayoritas orangtua sekarang ini tidak mau anak-anak mereka kembali berprofesi sebagai petani. Mereka ingin anak-anaknya setelah lulus dari jenjang pendidikan mencari profesi lain yang lebih bergengsi.
Intinya, profesi petani sampai kapan pun tetap diperlukan. Orangtua suatu waktu akan meninggalkan profesi itu dan yang berkewajiban meneruskannya adalah anak-anak mereka, generasi muda. Apakah generasi muda peka dan bersedia menjadi petani? Harusnya iya. Kalau bukan generasi muda, siapa lagi?
Lalu bagaimana dengan pemerintah, apakah hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa untuk mengatasi persoalan?
Sebagai pihak yang paling banyak berkepentingan, pemerintah telah, sedang dan akan terus melakukan berbagai upaya untuk memacu warga supaya berminat mempertahankan profesi petani. Ingat, bertani bukan hanya urusan warga pribadi per pribadi, rumah tangga, namun juga urusan pemerintah. Pemerintah berkewajiban menjaga agar kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian negara tetap awet.
Sekali lagi, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam khususnya di sektor pertanian merupakan tanggungjawab bersama. Masa depan bangsa akan tetap bergantung di sektor ini, sampai kapan pun. Â
***