"Setelah tiga dekade mengubur rindu di perantauan, Amrin akhirnya pulang. Bukan untuk melepas kangen, tapi mengubur sang ayah. Baru kini ia paham; tak ada yang abadi, termasuk kesempatan untuk pulang. Cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata, sebuah pengingat bahwa waktu tak selalu menunggu, dan rindu yang tertunda bisa berubah menjadi penyesalan yang tak ternilai."Â
Di tengah gegap gempita mudik Lebaran Idul Fitri tahun 2025, di mana jutaan orang bersuka cita berkumpul dengan keluarga, Amrin justru menyusuri jalan kampungnya dengan hati remuk redam.Â
Kerumunan orang yang riang menyambut lebaran di terminal-terminal, stasiun yang dipadati pemudik bersemangat, dan udara yang beraroma ketupat, semuanya berjalan kontras dengan kesunyian yang ia rasakan.Â
Di saat orang-orang mempersiapkan baju baru dan amplop merah, ia justru mempersiapkan diri untuk ziarah ke makam ayahnya yang sepi.
Kisah Amrin dan Rindu yang Tertunda
Angin sore berbisik pelan di Bandara Baabullah Ternate, membawa aroma laut yang mengingatkannya pada masa kecil. Pesawat SuperJet penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta baru saja mendarat, dan dari balik pintu terminal, seorang lelaki berusia hampir lima puluh tahun melangkah pelan.Â
Matanya menerawang, seolah mencari sesuatu yang dulu ia tinggalkan. Namanya Amrin.
Ini bukan Momentum Mudik yang Dibayangkan.
Tiga puluh tahun. Selama itu, tanah kelahirannya hanya hidup dalam ingatan, sebuah tempat yang selalu ia janji akan dikunjungi kembali, tapi tak pernah kesampaian.Â
Kehidupan di perantauan telah mengikatnya: berkeluarga, bekerja, membesarkan anak-anak di Serang, Banten. "Tahun depan," katanya pada dirinya sendiri, berulang kali. Hingga akhirnya, takdir memaksanya pulang dengan cara yang paling menyakitkan.
Derring!
Suara telepon itu mengubah segalanya. Tujuh hari sebelum Lebaran 2025, kabar itu datang.
"Amrin... Bapak sudah tiada."
Suara di seberang garis itu seperti pukulan keras di dadanya. Ia terdiam, udara di sekitarnya tiba-tara terasa sesak. Tangannya gemetar memegang ponsel. Segera, ia mengatur penerbangan Jakarta ke Ternate, ribuan kilometer yang harus ia tempuh dalam keadaan hancur.Â
Tapi Waktu Tak Memberinya Kesempatan.
Saat jenazah ayahnya dimandikan, ia masih di udara. Saat kain kafan membalut tubuh renta yang dulu menggendongnya, ia masih terombang-ambing di antara awan. Saat tanah menutup peti terakhir, ia baru saja mendarat dan tenyunya dia terlambat untuk mengucapkan selamat jalan.
Kakinya Terasa Berat
Bandara Baabullah masih sama, tapi segalanya terasa asing. Bau garam dan angin laut yang dulu begitu akrab kini seperti menyindirnya:Â "Kau terlalu lama pergi."Â Ia berjalan pelan, menuju rumah yang dulu ia tinggalkan dengan janji akan kembali sukses.
Tapi yang menunggunya bukan lagi senyum ayahnya.
"Rumah itu sunyi."
Begitu ia melangkah masuk, tangis pecah. Ibunya; wanita yang dulu kuat, kini terlihat lebih kecil, lebih rapuh berlari mendekat dan merengkuhnya.
"Amrin... Bapak sudah pergi..."Â Suaranya bergetar, seperti daun yang tertiup angin.
Ia tak bisa bicara. Hanya menggenggam tangan ibunya erat-erat, seolah takut jika melepaskannya, waktu akan kembali mencuri sesuatu yang berharga. Air matanya jatuh, bercampur penyesalan yang dalam. Kenapa aku menunggu sampai segini?
Malam itu, di bawah langit Ternate yang bertabur bintang, Amrin duduk di teras rumah masa kecilnya. Kenangan mengalir: ayahnya mengajarinya memancing, ibunya menyuapinya dengan tangan sendiri, tawa riang di antara rimbun pohon cengkih. Sekarang, yang tersisa hanya sunyi.
Tapi di balik duka, ada sesuatu yang tumbuh—sebuah tekad.
"Aku tak akan biarkan kampung halaman hanya jadi kenangan lagi."
Ia berjanji pada dirinya sendiri; ia akan kembali, tidak hanya dalam duka, tapi juga dalam kebahagiaan. Karena di sini, di tanah yang berbau laut dan cengkih inilah, hatinya sebenarnya tak pernah benar-benar pergi.
Ini rumahnya. Dan kini, ia akhirnya pulang.
Epilog
Di tengah riuh rendah mudik Lebaran 1446 H, tepat pada 26 Maret 2025 - seminggu sebelum Idul Fitri - pelabuhan-pelabuhan dipenuhi tawa reunifikasi keluarga. Sementara itu, di pemakaman kampung Ternate, Amrin berdiri kaku di hadapan nisan ayahnya yang masih basah oleh tanah baru. Aroma opor dan nastar yang menggoda dari rumah-rumah tetangga justru membuat pilunya semakin dalam, saat jemarinya menaburkan kembang seroja di gundukan tanah merah yang mengering di terik siang.Â
Pada detik itu ia tersadar: pulang sebelum terlambat adalah ibadah yang tak ternilai.
That's all from me today. See you in the next article! Thank you for stopping by.
Sulamadaha - Ternate, Â 28 Ramadhan 1446 Hijriah/ 28 Maret 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI