Fenomena tenaga kerja muda yang cepat mengundurkan diri dari pekerjaannya semakin marak terjadi di Indonesia. Mereka belum genap setahun bekerja, tetapi sudah mengajukan surat resign. Bagi sebagian pelaku industri, ini dianggap sebagai krisis loyalitas. Namun bagi generasi muda, ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang dianggap tidak sehat, tidak transparan, dan tidak manusiawi.
Survei yang dirilis oleh JobStreet Indonesia (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 53% tenaga kerja Gen Z bersedia berhenti dari pekerjaan dalam enam bulan pertama jika lingkungan kerjanya tidak sesuai dengan nilai dan harapan mereka. Bahkan, 35% dari mereka mengaku sudah tiga kali berganti pekerjaan dalam dua tahun terakhir. Alasan paling umum adalah lack of growth, ketidaksesuaian budaya kerja, tekanan berlebih, dan kompensasi yang tidak sebanding dengan beban kerja.
Seorang mantan pegawai junior di perusahaan agensi digital di Jakarta berbagi pengalamannya: "Saya masuk kerja jam 9 pagi, tapi sering baru pulang jam 10 malam. Manajer suka bilang 'begini memang dunia kerja', tapi kalau tiap hari begini, kesehatan mental saya nggak kuat. Saya putuskan resign," ujarnya.Â
Fenomena ini bukan terjadi di Indonesia saja. Secara global, tren ini dikenal sebagai "The Great Resignation" di mana jutaan pekerja muda memilih meninggalkan pekerjaannya setelah pandemi. Laporan Microsoft Work Trend Index 2023 mencatat bahwa sekitar 41% karyawan global berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya, dengan proporsi tertinggi berasal dari generasi Z dan milenial awal.
Namun apakah ini salah SDM mudanya? Tidak sepenuhnya. Menurut Dr. Andika Pratama, psikolog industri dan pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, "Generasi Z bukan tidak loyal. Mereka hanya lebih sadar akan pentingnya nilai diri, ruang tumbuh, dan keseimbangan hidup. Ini generasi yang tidak ingin terjebak dalam budaya kerja yang hanya mengutamakan jam panjang dan tekanan, tanpa kejelasan arah."Â
Di sisi lain, perusahaan sering terjebak pada pola pikir lama---menuntut dedikasi tinggi tanpa membangun lingkungan kerja yang suportif. Sistem yang terlalu hierarkis, atasan yang tidak komunikatif, serta manajemen yang menyepelekan mental health adalah racikan sempurna untuk menciptakan turnover tinggi. Hal ini diperparah dengan absennya rencana pengembangan karier yang jelas untuk posisi entry level.
Sementara itu, dari sisi tenaga kerja muda, belum semua memiliki kesiapan mental dan keterampilan untuk menghadapi dunia kerja yang dinamis. Banyak yang terlalu berharap pada "kerja ideal" dan kurang mampu beradaptasi dengan kenyataan bahwa dunia kerja tidak selalu sesuai ekspektasi kampus atau media sosial.
"Perusahaan harus mau mendengar dan beradaptasi. Karyawan muda bukan aset jangka pendek. Kalau kita kehilangan mereka terlalu cepat, kita kehilangan investasi dan masa depan," ujar analis HR dari Deloitte Asia Tenggara dalam laporan tahunan mereka. Mereka juga memperkirakan bahwa 65% tenaga kerja Asia Tenggara pada 2030 akan didominasi oleh generasi Z dan milenial, menjadikan kebutuhan akan transformasi budaya kerja sebagai hal mendesak.
Kesimpulannya, cepatnya tenaga kerja muda resign bukan hanya cerminan ketidakloyalan, tapi juga isyarat bahwa sistem kerja yang ada sudah usang bagi generasi baru. Perusahaan perlu membangun sistem manajemen yang inklusif, adil, dan berorientasi pada pengembangan manusia, bukan sekadar hasil. Sementara generasi muda juga perlu membekali diri dengan ketahanan, kemampuan komunikasi, dan pemahaman realistis tentang dunia kerja.
Akhirnya, bukan soal siapa yang salah, tapi siapa yang siap berubah.